Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amaia Sari Gumelar mengapresiasi jurnalis perempuan dalam menjalankan tugasnya. Hal ini diungkapkannya dalam Sarasehan Jurnalis Perempuan Indonesia 2012 “Memperkuat Peran Jurnalis Perempuan dalam Meliput Isu Penting bagi Publik” di Hall Dewan Pers, beberapa waktu lalu.
“Pertama tentu saya memberikan apresiasi kepada perempuan yang bekerja di bidang jurnalis. Yang saya kira ini bukan pekerjaan yang mudah, banyak tanggung jawab yang harus dipikul, selain tanggung jawab secara pekerjaan juga bagaimana bisa memberikan informasi menulis dengan cerdas terkait isu-isu atau masalah perempuan,” ujarnya di hadapan seluruh jurnalis perempuan dari berbagai media cetak dan daerah di tanah air. Dari Sumatera, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menjadi undangan bersama FJPI Aceh.
Linda menegaskan bukan karena perempuan lantas hanya mengangkat isu perempuan. Namun, keberadaan perempuan akan lebih peka. “Bukan karena perempuan harus mengangkat isu perempuan, tapi rasanya lebih peka. Untuk bisa mendorong isu-isu perempuan yng perlu diangkat dan perlu diketahui oleh masyarakat. Saya pikir tugas jurnalis perempuan ini perlu diapresiasi,” tegasnya. Jurnalis perempuan, lanjutnya juga harus bisa memperjuangkan isu-isu, seperti pelecehan seksual, kekerasan, trafficking, kesetaraan gender, dan hal lainnya yang berhubungan dengan isu perempuan.
Perhatian Linda terhadap jurnalis tentu tak terlepas dari cita-citanya masa dulu yang ingin jadi jurnalis. “Saya ingin jadi jurnalis tapi tidak kesampaian. Ibu saya seorang jurnalis radio,” timpalnya. Linda sangat berharap, eksistensi jurnalis perempuan tidak hanya pada tingkatan reporter, tapi harus di penentu kebijakan tempatnya pekerja. “Memang itu harus melalui tahapan, tapi akan lebih bagus jika bisa dilakukan,” lanjutnya.
Linda juga menggarisbawahi perihal perlindungan jurnalis perempuan dalam bekerja. “Ini juga menjadi suatu catatan. Ini sangat penting, karena ada kodrat yang dimiliki perempuan jurnalis, misalnya hamil, menyusui, haid itu kodrat perempuan, harus diberikan afermative action agar mereka tetap bisa dilindungi dalam bekerja dan mendapatkan haknya dalam bekerja,” bebernya.
Sejatinya, Linda menambahkan, pihaknya tidak hanya peduli dengan kekerasan dalam bekerja untuk jurnalis perempuan. “Tapi jurnalis perempuan harus berani menyampaikan fakta, ketika dia mengalami kekerasan dan diskriminasi. Target Kementrian PP di 2024, kesetaraan perempuan dan laki-laki di di berbagai sektor bisa tercapai,” tuturnya.
Melihat antusias jurnalis perempuan dalam sarasehan tersebut, Linda siap menjadi tuan rumah Sarasehan Jurnalis Perempuan tahun depan 2013. “Saya siap menjadi tuan rumah sarasehan jurnalis perempuan tahun depan,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pers Indonesia, Bagir Manan pada sarasehan tersebut meminta jurnalis perempuan di Indonesia harus memperhatikan isu kesetaraan gender di dalam parlemen maupun partai politik (parpol). Karena secara hukum menurut Mantan Ketua Mahkamah Agung Indonesia itu, 30 persen anggota DPR itu wanita, tapi faktanya sampai sekarang belum tercapai. “Jumlah perempuan yang bekerja sebagai PNS untuk eselon empat mungkin jumlahnya sama. Tapi di eselon satu, jumlahnya di bawah sepuluh persen,” ucapnya.
“Jurnalis Perempuan Indonesia harus memberikan pengetahuan tentang bagaimana cara memilih di dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun pemilihan umum (Pemilu), karena dengan dibekali pengetahuan yang cukup perempuan di Indonesia akan memilih pemimpin secara baik dan benar. Nah itulah peran Jurnalis Perempuan Indonesia memberi pemahaman untuk itu melalui pemberitaan,” kata Bagir Manan.
Bagir juga berharap keberadaan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia semakin luas tidak hanya di Medan dan Aceh. “Saya harapkan FJPI bisa ada di seluruh Indonesia,” timpalnya.
Uni Lubis, Ketua Komisi Pendidikan/pelatih Dewan Pers, Pengembangan Profesi dan Anggota Dewan Pers menambahkan, saat ini di Indonesia ada sekira 30 ribuan jumlah wartawan. Yang jumlah tersebut bisa melonjak tinggi jelang Pilkada. “Karena banyak media yang muncul saat Pilkada. Belum ada jumlah resmi data wartawan, namun 30 persennya adalah jurnalis perempuan,” ujarnya.
Perhatian terhadap keberadaan jurnalis perempuan, lanjut Uni Lubis bukan dimaksudkan untuk memanjakan jurnalis perempuan. “Justru jurnalis perempuan bekerja lebih keras daripada laki-laki untuk sampai pada tahap ini. Dengan perbedaan fisik, perempuan tidak minta dibedakan karena kodratnya perempuan. Tapi butuh proteksi dalam pekerjaannya. Apalagi budaya patriarki masih kuat. Misalnya, ketika ada pelatihan untuk jurnalis sangat sulit bagi jurnalis perempuan untuk mendapatkan ijin,” bebernya.
Jurnalis perempuan, menurut Uni Lubis adalah multi tasking. “Untuk itu jurnalis perempuan tidak boleh cengeng, harus menunjukkan kita bisa. Faktanya di keberadaan jurnalis perempuan di media jumlahnya masih sedikit di pengambil keputusan,” jelasnya.
Jurnalis Perempuan Senior “The Living Legend” Herawati Diah, yang kini berusia 95 tahun mengungkapkan rasa bangganya atas kemajuan jurnalis perempuan masa kini. Ibu Diah menyempatkan datang dengan semangat, meski kondisinya sudah sangat renta dan menggunakan kursi roda. “Semoga ke depan, semakin banyak jurnalis perempuan. Jurnalis perempuan juga tidak boleh manja agar bisa bersaing dengan jurnalis laki-laki,” ujarnya.
Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Khairiah Lubis mengatakan sangat bangga bisa bergabung dalam sarasehan tersebut. Ini kali kedua bagi FJPI diundang, sebelumnya bersama Ketua FJPI Aceh, Saniah, Khairiah didaulat sebagai pemateri. “Kami (FJPI) sangat bangga bahwa keberadaan FJPI menjadi perhatian Dewan Pers. Kami juga senang bisa bertemu dengan jurnalis dari berbagai daerah di Indonesia berbagai pengalaman dan semangat membangun kebersamaan untuk menjadikan jurnalis perempuan punya power yang sama dengan jurnalis laki-laki,” pungkasnya.