Sanggar Anak Sungai Deli (SASUDE) merupakan salah satu sanggar anak yang tinggal di bantaran Sungai Deli, tepatnya di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun, Kota Medan. SASUDE didirikan pada 2018 oleh sejumlah mahasiswa pecinta alam yang mengadakan Ramadhan Camp untuk anak-anak yang tinggal di bantaran Sungai Deli. Lukman Siagian, salah satu pendirinya mengatakan SASUDE ini berangkat dari kebutuhan anak-anak Sungai Deli, yang minim akses untuk belajar.
Kondisi ekonomi keluarga yang mayoritas di pra sejahtera, ancaman tersapu banjir akibat luapan air sungai ketika hujan deras melanda, menyebabkan anak-anak ini seperti luput dari hiruk pikuk perkembangan kota yang sedang giat-giatnya membangun. Anak putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, peredaran narkoba, pelecehan seksual, masalah sampah, adalah beberapa isu yang menjadi pemandangan yang bisa dilihat di lingkungan ini. Anak-anak itu tumbuh dalam lingkungan yang demikian. Atas dasar inilah, SASUDE dibangun sebagai wadah anak-anak itu bisa mendapat pengetahuan dan literasi yang baik dan membangun spirit mereka untuk menjadi orang yang lebih baik.
“Yang membuat pertumbuhan mental dan kecerdasan anak-anak itu berbeda-beda adalah akses mereka terhadap informasi. Anak-anak yang dididik dengan baik, penuh kepedulian, akan tumbuh dengan baik juga. Begitupun sebaliknya,” ujar Lukman, saat berbincang dalam sebuah diskusi dan pemutaran film pendek tentang SASUDE bertajuk “Voice of the Voiceless”, beberapa waktu lalu.
Film yang menjadi dokumentasi acara Hari Raya Mimpi yang digelar anak-anak dari SASUDE di lapangan Lingkungan XII Kelurahan Sei Mati tahun lalu tersebut, menarik nurani siapapun untuk singgah dan berinteraksi dengan mereka. Kalimat “Hari Raya Mimpi” saja sudah membuat siapapun bertamasya pada masa kanak-kanak mereka, saat mimpi menjadi apapun begitu membangkitkan semangat dan keceriaan. Hal ini pula yang mendorong saya untuk singgah ke sekretariat mereka di pinggir sungai Deli pada awal pekan lalu.
Dua teman baru saya, Arisa dan Johan Badar, dari Wildlife Whisperer Sumatera, kebetulan sedang melakukan pelatihan mingguan mereka di sana. Belasan anak SASUDE berusia 5-17 tahun diajari menjadi kreator konten lingkungan dengan smartphone. Di tengah arus teknologi informasi dan fenomena konten media sosial yang tak terbendung, anak-anak itu perlu diarahkan untuk bijak dalam memanfaatkan teknologi informasi sekaligus menjadi kreator untuk konten lingkungan hidup.
Pada sebuah tikar plastik di pinggir sungai, di bawah rimbunnya pohon bambu hijau yang asri, anak-anak itu serius memperhatikan Arisa dan laptopnya menjelaskan bagaimana menjadi kreator konten lingkungan dan menjadi pemberi pengaruh pada masyarakat banyak tentang kesadaran lingkungan.
Arisa melihat bahwa trend menjadi kreator konten di kalangan anak-anak muda sangat tinggi. Belajar membuat konten tidak saja untuk menghasilkan tayangan yang menarik di media sosial mereka. Tapi anak-anak bisa belajar membuat naskah, ini artinya membutuhkan kemampuan literasi yang baik, mereka harus membaca dan menulis. Kemudian mereka harus memupuk kepercayaan diri mereka untuk tampil di depan kamera, belajar public speaking juga. Lalu belajar menyunting gambar, dan bekerja dalam tim. Skill-skill tersebut bisa mereka terapkan pada bidang kreatif yang lain.
“Belajar dengan cara yang menyenangkan dan target skill yang mau dicapai bisa diperoleh, itu yang kita harapkan terjadi dari kegiatan ini,” kata Arisa.
Keinginannya untuk turun mengajari anak-anak SASUDE muncul setelah ia melihat kegiatan Hari Raya Mimpi. Ia diajak seorang teman, dan melihat dan merasakan atmosfir yang menyentuh hatinya, lalu ia bergerak untuk ikut ambil bagian dalam membekali anak-anak SASUDE dengan berbagi skill yang ia kuasai.
“Saat Ramadhan kemarin, kami mengajak 5 anak SASUDE yang kami seleksi untuk ikut menjelajahi pinggir hutan Leuser dan mempraktekkan latihan mereka sebagai kreator konten lingkungan dan alam. Pengalaman semacam ini kami harap bisa meletakkan dasar pikir pada anak-anak itu untuk lebih mencintai alam,” tambah Arisa.
Persinggahan saya yang singkat ini membangkitkan niat saya untuk melakukan sesuatu hal yang kurang lebih sama. Membagi pengalaman dan skill buat anak-anak yang seakan ‘diabaikan’ kota karena tinggal di bantaran sungai. Beberapa anak bahkan tadinya disibukkan dengan aktifitas mengemis di lampu merah untuk mendapatkan uang. Namun sejak mengikuti kegiatan di SASUDE pelan-pelan mereka maupun orangtua mereka melepas kebiasaan mengemis itu. Kesadaran tentang pentingnya kualitas hidup yang baik bagi anak-anak mereka terbangun dengan keterlibatan dan kontribusi komunitas-komunitas yang peduli dan datang untuk berbagi.
SASUDE juga kini berusaha mandiri untuk membiayai kegiatan-kegiatan mereka, yakni dengan menjual keropak di sejumlah kedai-kedai kopi yang menjadi jaringan SASUDE. Karopak itu bisa dipesan lewat aplikasi juga sehingga jangkauan pasarnya lebih luas. Karopak ini dibuat oleh ibu-ibu lingkungan SASUDE dan bisa membuka lapangan kerja juga.
“Modal awalnya dari sumbangan kawan-kawan komunitas dan dari dana pribadi. Sejauh ini memang belum ada bantuan dari pemerintah untuk SASUDE, dan itu tidak berpengaruh. Kami hanya berharap kepedulian kepada anak-anak seperti SASUDE bisa meluas di komunitas lain, bisa berbagi, itu penting bagi mereka dan bagi kita juga, merawat nurani,” kata Lukman.
Usai pelatihan, anak-anak yang belajar menjadi kreator konten lingkungan untuk membuat video pendek mereka untuk mengkampanyekan lingkungan dan alam yang bersih secara berkelompok. Canda tawa selama persiapan mengundang perhatian warga sekitar. Termasuk anak-anak yang tadinya sibuk mandi dan menceburkan diri di sungai. Dengan pakaian basah, mereka menonton kompetisi kelompok kreator konten membuat video terbaik mereka. Sungguh pemandangan yang gembira dan menyenangkan. Namun dalam hati saya menggumam, apakah pemerintah melihat mereka? Apakah program-program yang banyak dan dibiayai dengan besar oleh Negara itu bisa menyentuh mereka? Anak-anak ini? Tawa polos mereka mengandung harapan dan mimpi bahwa mereka bisa melakukan yang terbaik, membuat konten yang menarik. Saya, seorang jurnalis hanya bisa menuliskan tentang mereka. Anak-anak sanggar di tepian sungai Deli, yang sedang merawat mimpi. (Diana Saragih)