Hari ibu adalah hari kasih sayang untuk ibu. Ada yang hanya sekedar mengucapkan dan memberikan hadiah kepada ibunya. Ada yang juga memperingatinya dengan berbagai acara seremonial. Biasanya, perempuan kalangan intelektual dan ibu-ibu pejabat kerap mengadakan kegiatan seremonial itu. Mengenakan pakaian yang serba bagus dan dibaluti perhiasan mewah digedung hotel, ketika bertemu teman atau rekan sejawatnya saling cium pipi kanan dan cium pipi kiri, lalu mengucapkan “selamat hari ibu ya”.
Tapi tidak bagi Urmi (28), janda buta huruf yang memiliki empat anak yang masih kecil-kecil. Alam (13), Sri (9) , Selamet (8) dan Farel (3). Dia tidak mengerti apa sebenarnya makna hari ibu. Baginya, dengan mencurahkan segala kasih sayang kepada anak-anaknya, lalu anak-anaknyapun membalas dengan kasih sayang untuknya, itulah makna hari ibu.
Urmi dan keempat anaknya tinggal di tengah kota Medan, tepatnya di Jalan Kejaksaan di sebuah ruangan yang hanya berukuran 2,5 x 2 meter. Meski berdindingkan tepas dan berlantaikan papan, namun Urmi harus membayar sewa ruangan yang sudah ia huni selama 11 tahun bersama suami dan anak-anaknya sebesar Rp300.000 setiap bulannya.
Tidak ada barang-barang berharga dibruangan tempat ia dan keempat anaknya tinggal. Semua barang-barang bekas yang tersusun berantakan di dalam ruangannya, seperti, tempat tidur kayu sorong, tilam, lemari pakaian, keranjang pakaian, rak buku adalah pemberian orang-orang. Sejak suaminya, Marihot Pasaribu (50) meninggal akibat kecelakaan tahun 2011 silam, Urmi berjuang untuk memenuhui kebutuhan hidup keluarganya dengan menjual butut (barang-barang bekas) yang ia pungut dijalanan.
Saat ditemui, Urmi sedang menyusun kardus-kardus bekas yang baru saja ia punguti di jalanan. Sejak shubuh, dengan mengendarai becak barang peninggalan suaminya, sebelum anak-anaknya bangun dari tidur ia sudah keluar rumah untuk mencari butut. Begitu waktu menunjukkan pukul 06.30 Wib, Urmi kembali ke rumah untuk mengurusi ketiga anaknya sebelum berangkat sekolah sampai mengantarkannya ke sekolah.
“Setelah mengantarkan anak-anak ke sekolah, ya nyari butut lagilah. Nanti jam 10 pulang ke rumah, memasak. Setelah itu menjemput anak dari sekolah. Habis itu ya nyari butut lagi,” kata Urmi dengan polos.
Tidak hanya mencari barang-barang bekas untuk dijual, Urmi juga menerima jasa mengangkat beras di kantor kecamatan dan mengangkat barang-barang lainnya. Akibat sering berhadapan dengan debu saat melakukan pekerjaannya, Urmi didiagnosa menderita sakit di bagian pernafasannya. Dan, semakin parah sejak suaminya meninggal dunia. Meski sadar menderita sakit, Urmi tidak peduli. Semuanya ia lakukan demi mendapat upah lebih dari hasil penjualan butut yang hanya ia perolah Rp250.000 per bulannya.
“Kalau hanya mengandalkan butut, nggak cukuplah. Untuk bayar sewa kamar saja nggak cukup. Terpaksalah, angkat barang juga. Kadang angkat beras di kecamatan, kadang mengangkat barang-barang pindahan. Pokoknya kalau ada orang yang minta tolong, saya kerjakan. Kadang, ada orang Binjai minta tolong ngantar lemari ya saya bawa. Ada yang ngasih Rp20.000, yang ngasih Rp10.000pun saya terima. Yang penting ada uang untuk makan anak-anak,” tutur Urmi yang menikah di usianya masih 14 tahun.
Jangankan baju baru untuk lebaran, makan empat sehat lima sempurnapun Urmi belum mampu memberikan untuk anak-anaknya. Namun, sikap anak-anaknya yang mengerti keadaannya, membuat ia bersemangat lagi menjalani hidupnya. “Syukurnya, anak-anak nggak pernah minta baju baru. Paling mereka hanya minta dibuati kue dan masak ayam saja. Rasa pengertian anak-anak inilah yang membuat saya bersemangat,” ujarnya.
Meski dengan segala keterbatasan, Urmi sangat mensyukuri hidupnya. Terlebih saat ia dipertemukan dengan sebuah lembaga yang akhirnya membantu biaya perobatannya dan anak-anaknya saat sakit. Tidak hanya itu, Urmi juga dipertemukan orang-orang baik yang membantu biaya sekolah ketiga anak-anaknya.
“Mungkin, Tuhan mengirimkan malaikat untuk kami. Alhamdulilah, biaya perobatan saya dibantu, kalau anak-anak sakit juga akan dibantu. Yang paling membahagiakan, ada orang baik yang bantu biaya sekolah anak-anak. Kalau nggak, nggak sanggup saya menyekolahkan anak-anak saya,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca mengingat orang-orang yang telah membantunya.
Melihat keempat anaknya yang semakin tumbuh, Urmipun kian bersemangat untuk hidup dan mewujudkan mimpinya. Mimpinya adalah melihat anak-anaknya sukses meraih cita-citanya. Alam si sulung bercita-cita ingin menjadi polisi, Sri anak perempuan satu-satunya bercita-cita menjadi dokter dan Selamet bercita-cita menjadi tentara.
“Sesusah apapun, memang lebih enak punya suami. Karena sejelek apapun, ada teman untuk sama-sama berbagi. Tapi, bagaimanapun keadaan kami, kan nggak mungkin disesali. Biarlah, cukup saya saja yang susah, tapi anakku jangan. Makanya anakku kusekolahkan. Selagi hidup, kuberikan semua kasih sayangku untuk anakku. Aku sayang anakku karena Allah, dan aku hidup karena anakku,” kata Urmi mengakhiri. (E/jp)