Oleh Khairiah Lubis
Aku yang tahu siapa kau. Kau keluar malam aku yang tahu,” kata Sw, ibu dari Sr, sambil memeluk anaknya dalam tubuh ringkih sang ibu. Sr, ibu muda warga Medan Maimun itu, benar-benar terguncang. Keterangan dokter tentang hasil pemeriksaan darahnya tadi pagi bagai guntur di siang bolong.
Bagaimana mungkin dokter mengatakan jika dia positif HIV? Sementara Sr merasa hidupnya selama ini dijalani dengan lurus-lurus saja, tidak ada perilaku buruk yang dilakukannya yang memungkinkan dia terpapar HIV. Sesaat dia teringat bahwa sebagai kader PKK di lingkungannya dia pernah mendapatkan pengetahuan tentang HIV dan AIDS. Tapi karena merasa jauh dari faktor risiko HIV, dia tidak begitu mempedulikan apa penyebab HIV bisa menginfeksi tubuh manusia. Sebagai masyarakat awam, saat itu Sr hanya memahami jika HIV terjadi pada seorang yang berprilaku buruk.
Sudah setengah tahun, sejak bulan Mei 2007, hingga hari itu, Januari 2008, Sr sakit. Dia bolak balik menderita diare. Langit-langit mulut serta lidahnya pun dipenuhi jamur. Sr pergi dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Sembuh sebentar, kemudian dia sakit lagi. Aktivitasnya sebagai penjual makanan di depan rumahnya pun sering terhenti, karena Sr harus masuk rumah sakit. Berat badannya yang semula 43 kilogram turun drastis menjadi 22 kilogram. Tubuhnya kurus. Hingga pada bulan ke enam dia sakit, puskesmas yang dia kunjungi menyarankannya untuk memeriksakan diri ke RSUP H A Malik Medan. Anjuran itu dia ikuti. Dari pemeriksaan dokter kemudian dia diarahkan ke Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus), lalu pemeriksaan darah. Saat hasil tes darah dibacakan dokter itulah dia merasa sangat terpukul.
Generalisasi di masyarakat tentang penyebab kasus HIV dan AIDS telah membuat orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) menjadi semakin tersudut. Mitos-mitos bahwa HIV dan AIDS adalah kasus bagi orang-orang yang tidak bermoral, telah menghambat penyebaran informasi yang sebenarnya kepada masyarakat tentang bagaimana kasus HIV dan AIDS bisa terjadi. Bahwa virus HIV tidak hanya bisa menular melalui hubungan seksual dengan pasangan yang berisko, atau karena pengguna narkoba yang memakai jarum suntik saja. Tapi HIV bisa menulari tubuh melalui transfusi darah.
“Inilah yang saya alami. Saya mendapat HIV saat transfusi darah ketika operasi melahirkan anak saya yang ketiga, bulan Februari tahun 2004,” ungkap Sr.
Ketika pertama kali didiagnosa positif HIV, Sr mengaku sempat mencurigai suaminya. Tapi saat suami menjalani pemeriksaan darah, hasilnya justru negatif. Karena Sr merasa tidak pernah melakukan prilaku buruk, maka kemudian dokter menanyakan, apakah dia pernah melakukan transfusi darah. Dia menjawab iya, tiga tahun sebelumnya, saat dia menjalani operasi melahirkan anak ketiga, dia kekurangan darah.
“Waktu itu kondisi plasenta bayi berada dibawah, jadi harus dioperasi dan butuh darah,” kata Sr sambil menjelaskan bahwa persalinannya dilakukan di rumah sakit milik pemerintah Kota Medan.
Darah didapatkan dari PMI di rumah sakit tersebut, dan transfusi pun dilakukan. Tetes demi tetes darah yang terinfeksi HIV itu pun masuk ke tubuh Sr. Hingga akhirnya dia pun positif HIV. Hanya tiga tahun setelah tubuh Sr terinfeksi HIV pertama kali, virus itu telah berhasil menguasai tubuhnya. Sr menderita diare yang berkepanjangan, kulitnya gatal-gatal, mulut penuh jamur. Tapi Sr, keluarganya, juga orang-orang kesehatan yang dia datangi tidak menyadari bahwa itu adalah gejaja yang terlihat untuk kasus HIV dan AIDS. Penderitaannya harus dia alami selama enam bulan sebelum akhirnya dia memeriksakan diri ke RSUP H A Malik Medan dan dinyatakan positif.
“Setelah saya mendapatkan kekuatan dari ibu saya, saya lalu berpikir, aku tidak akan takut dengan penyakit ini, meski tidak ada obatnya. Karena Allah tidak akan memberikan cobaan untuk orang yang tidak mampu menghadapinya,” kata Sr.
Sr lalu mengikuti terapi anti retro viral (ARV), dan memperbaiki kondisi kesehatannya. Pelan-pelan berat badannya naik, dia kembali sehat dan bisa beraktivitas di luar rumah lagi. Sr lalu berpikir akan terbuka saja kepada teman-temannya tentang statusnya. Dia mengaku sudah siap jika dengan keterbukaannya maka teman-temannya akan menjauhinya.
Namun kedekatan yang sudah terjalin diantara Sr dan teman-temannya di PKK ini membuat mereka tidak takut dan mendekatinya. “Ternyata kawan-kawan nggak menjauhi, malah mereka menguatkan saya,” ucap Sr haru.
Sebagai seorang ODHA, dia mendapat dukungan dari relawan-relawan di lembaga pendamping ODHA. Percaya diri Sr kembali pulih. Dia lalu mendapat tawaran bekerja dari Medan Plus, lembaga pendamping ODHA yang berkantor di Padang Bulan Medan itu. Sr menjadi petugas lapangan juga mengurusi Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang dibentuk Medan Plus untuk mendampingi ODHA.
Lebih kurang tujuh tahun Sr berkegiatan di Medan Plus. Dia mendampingi para ODHA agar mampu menjaga kesehatannya, mengubah prilaku hidup mereka, sehingga mempunyai hidup yang berkualitas. Sr juga membantu ODHA untuk mengurus surat-surat jaminan kesehatannya karena sebagian besar ODHA dan keluarganya tidak paham.
“Sebagai sesama ODHA, saya harus menolong mereka supaya mereka bisa hidup sehat mempunyai semangat. ODHA bisa tetap sehat jika tahu dan mau menjaga kesehatannya. Saya banyak sekali mendapat pengetahuan tentang HIV dan AIDS ini dari lembaga ini. Ternyata selama ini masyarakat banyak salah kaprah tentang HIV dan AIDS,” kata Sr.
Infeksi dari Transfusi Darah
Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara pada Mei 2015 menyebutkan kasus penularan HIV melalui transfusi darah berjumlah 75 orang. Angka ini bisa lebih besar pada kasus yang tidak dilaporkan. Eban Totonta Kaban, Ketua Medan Plus mengatakan kasus penularan HIV melalui transfusi darah terjadi akibat kealpaan pihak pelayanan kesehatan untuk mengawasi dan melindungi pasien dari infeksi menular. Ini bisa terjadi karena ada PMI ataupun rumah sakit yang belum mempunyai alat screening untuk mendeteksi virus menular di dalam darah seperti HIV atau Hepatitis .
Menurut Toton, kejadian penularan HIV dari transfusi darah masih terjadi dalam 2-3 tahun terakhir. Dia mengharapkan pemerintah memperbaiki mekanisme distribusi darah yang pengawasannya sangat minim sehingga kasus HIV dari transfusi darah tidak terjadi lagi. Toton juga berharap masyarakat tidak melakukan stigma terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV. Sebab seperti yang terjadi pada Sr, penularan virus terjadi karena transfusi darah.
Jadi adalah tidak tepat jika orang mengatakan yang bisa terinfeksi HIV adalah orang yang berprilaku buruk. Ibu rumah tangga yang baik-baik seperti Sr juga bisa kena jika kita tidak tahu penularannya sehingga menjadi tidak awas. “Orang yang sehari-hari berprilaku buruk justru tidak tertular virus karena dia bisa menjaga dirinya agar tidak terinfeksi,” kata Toton.
Zulkifli Triadi, Sekretaris PMI Sumut mengakui, sebelum tahun 2010 memang praktik donor darah mudah dilakukan. Tapi saat ini sistem donor sudah diatur. PMI juga sudah mempunyai alat screening sehingga darah bisa diperiksa terlebih dahulu sebelum diberikan kepada pasien. “Jika kita temukan darah yang terinfeksi virus menular, maka darah itu kita musnahkan,” jelas Zulkifli.
Banyaknya kasus penularan HIV dari transfusi darah saat ini membuat orang harus lebih waspada. “Bulan lalu adik ibu saya harus transfusi darah, dan saya mewanti-wanti pihak PMI agar darah yang diberikan benar-benar yang sudah discrening karena saya tidak ingin apa yang terjadi pada saya menimpa adik ibu,” ujar Sr yang kini menjadi lebih hati-hati.
Kasus HIV dan Aids yang terjadi karena kelalaian manusia seperti pada soal transfusi darah ini diharapkan tidak akan terjadi lagi. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) (http://www.aidsindonesia.or.id) , diharapkan dapat membuat kebijakan dan mengajak seluruh elemen untuk menghapuskan kasus HIV akibat transfusi darah. Pernas AIDS V Makassar 2015 (http://pernasaids5.org) semoga dapat menjadi momen untuk mendudukkan semua permasalahan HIV dan Aids sehingga semakin banyak masyarakat dapat menjaga diri dari infeksi. (*)
#pernasaids5