Musik tradisi, tenda warna-warni, lampu sorot di malam hari, dan keriuhan di bawah langit biru pada siang hari. Beberapa elemen yang saya sebut tadi adalah hal yang jarang ditemui di kawasan Danau Toba. Harus diakui, di kawasan danau indah nan luas ini, kita sering kebingungan mau ngapain saat berkunjung ke sana. Minim event, jalur dan alat transportasi umum yang belum memadai, membuat sejumlah wisatawan baik lokal maupun manca negara sulit memutuskan untuk kembali lagi sesering yang diharapkan. Namun, pandangan itu sedikit berubah tatkala melihat langsung event kreatif yang dikerjakan oleh Rumah Karya Indonesia bertajuk Tao Silalahi Arts Festival.

Ini adalah event tahunan ketiga dengan nuansa yang sama sejak 2016 di tempat itu. Hanya saja, tahun ini bernama Tao Silalahi Arts Festival (TSAF), sebelumnya bernama Silahisabungan Art Festival (SAFe). Lampu sorot membuat orang-orang mengarahkan pandang ke Tao Silalahi. Membuat event tahunan adalah salah satu strategi untuk menaikkan pamor suatu destinasi wisata. Dan cara ini manjur, karena sebelumnya Desa Paropo Kecamatan Silahisabungan Kabupaten Dairi ini tidak begitu dikenal sebagai destinasi wisata. Namun belakangan, desa ini naik pamor.

Saya sendiri mengalami itu. Penasaran dengan acara dan tempatnya yang mana foto dan video dari event tahun-tahun sebelumnya, membawa saya ke lokasi pada Sabtu-Minggu (20-21 Juli) lalu. Bersama beberapa rekan media yang lain, kami begitu menikmati suguhan musik, tari, dan panorama alam, serta interaksi manusia yang begitu dinamis. Kehadiran musisi dan band lokal terus mengajak para pengunjung untuk berjoget dan bernyanyi bersama. Di antaranya Boraspati, Naturbati, Arunika. Ada juga duet maut Benny Jambak (vokalis Equalis) dan Ando Sipayung. Dua musisi yang saya sebutkan terakhir menjadi pertunjukan musik favorit saya pada acara ini. Alunan dua gitar dan sebuah gendang yang mereka mainkan sendiri begitu memukau saya. Penampilan yang sederhana namun berhasil membuat saya bahagia bisa menyaksikan performa mereka. Muda dan berbakat.

Namun, malam puncak yang seharusnya ditutup dengan penampilan Boraspati, band etnis rege asal Medan, berakhir anti klimaks. Panitia terpaksa menutup panggung saat lagu kedua, karena adanya masalah keamanan yang dirasa melewati batas aman. Membludaknya pengunjung hingga 4.000-an orang memang cukup riskan dengan dinamika yang kadang di luar batas. Penonton lain sempat kecewa dengan keputusan itu, namun panitia bersikeras demi keamanan keseluruhan acara.

Nah, kecewa itu ternyata terbayar keesokan harinya. Boraspati naik panggung kembali pukul 8 pagi, etelah sebelumnya peserta 1.000 tenda digoyang tari zumba sejak pukul 6 pagi. Pengunjung terus bersenang-senang di Minggu pagi. Menurut panitia, sebenarnya hingga Minggu dini hari, pengunjung terus berdatangan. Namun karena keterbatasan lapak tenda, mereka akhirnya pulang. Beberapa di antaranya terpaksa tidur di sejumlah warung yang buka di sekitar lokasi event. Antusias bermalam minggu di Tao Silalahi Arts Festival bikin geleng kepala. Mereka datang dari berbagai daerah di Sumut, Aceh, dan Riau. Tumpah ruah di Tao Silalahi.

       

Berbagai kegiatan dilakukan dalam event 3 hari tersebut, yakni pada 20-22 Juli 2018 kemarin. Mulai dari 1.000 tenda, workshop seni tradisi, pertunjukan musik dan tari, dongeng, diskusi traveling, menanam pohon, minum kopi massal, senam zumba, kayaking, hingga bersih-bersih danau. Dan untuk mengenang 33 hari peristiwa tenggelamnya KM Bangun di Simanindo, dilakukan hening cipta bersama selama 33 menit di hari terakhir acara.

Keyakinan RKI

Sekumpulan anak muda di Rumah Karya Indonesia (RKI) ini memang termasuk jempolan dalam meletakkan jejak karya di sejumlah destinasi wisata. Jong Batak Arts Festival di Medan, Dokan Arts Festival di Kabupaten Karo, Toba International Film Festival di Kabupaten Samosir, dan Tao Silalahi Arts Festival di Kabupaten Dairi, adalah beberapa event yang mereka telurkan selama ini. Konsistensi dalam mempromosikan kegiatan bernyawa tradisi bisa dibilang merupakan kegiatan yang jarang ditemui di Sumatera Utara. Anak-anak muda ini terus berusaha agar pemuda Sumatera Utara tidak kehilangan identitasnya, budaya, adat, dan kampung halamannya, karena tersapu arus globalisasi yang membawa seni dan budaya asing untuk dikonsumsi.

Bukan pekerjaan mudah sebenarnya. Persoalan dana sering menjadi hambatan dalam menggelar event karena memiliki skala yang luas. Namun bagi RKI, mereka memiliki hitung-hitungannya sendiri. Dan kadang kala, tujuan dan target menjadi prioritas kendati harus mengecilkan ikat pinggang agar acara sukses dan tuntas.

Seperti yang disebutkan Ojax Manalu, Ketua Panitia TSAF 2018, dalam sambutannya kemarin, bahwa komitmen dalam berkarya adalah tetap melaksanakan rencana event  dengan ataupun tanpa sponsor. Mereka ingin menunjukkan kepada masyarakat luas terutama pemerintah bahwa ruang-ruang seni di Sumatera Utara ada dan bernilai ekonomi, dengan bergerak menggandeng masyarakat sekitar. Dengan demikian ke depan, masyarakat sekitar lokasi event-lah yang nantinya meneruskan kegiatan festival seni seperti ini. Promosi, edukasi, yang dibalut hiburan, menarik ribuan pemuda untuk datang ke Tao Silalahi. Datang dan bergabunglah di acara yang sama tahun depan. Bersama menciptakan gerakan komunal yang mencintai Danau Toba, dan menggerakkan ruang-ruang kesenian di Sumatera Utara. (jp)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini