Pada 2 Mei 2017, saya menghadiri acara Press Freedom Day yang dihelat berkala oleh UNESCO sebagai momentum perayaan kebebasan pers dan berekspresi. Tahun ini, Indonesia sebagai tuan rumah. Dewan Pers serta Kementerian Komunikasi dan Informasi didaulat sebagai penitia penyelenggara dari Indonesia. Jurnalis berbagai media dan organisasi pers dari seluruh dunia hadir di ajang tersebut. Saya dan Rezky datang mewakili Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) saat itu.

Sebagai perhelatan internasional terhadap kebebasan pers, tentu saja isi acara melulu tentang bagaimana kekuatan pers melawan kekerasan dan tindakan membungkam media memberitakan informasi kepada publik. Sungguh acara yang membesarkan hati kami pada saat itu. Bahwa begitu besar gaung kebebasan pers ini menggema ke seantero dunia. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla hadir dan menegaskan tentang kebebasan pers itu di hadapan ribuan peserta Press Freedom Day 2017.

Saat ini, tingkat kepercayaan masyarakat kepada media jauh melebihi tingkat kepercayaan masyarakat kepada dewan perwakilan rakyat yang mengaku sebagai penyambung lidah rakyat, bahkan kepada pemerintah. Segala keluh kesah rakyat terhadap nasib dan ketidakadilan yang mereka rasakan disalurkan kepada media sebagai corong suara mereka.

Saya yang mulai terjun ke dunia jurnalistik sejak 2005, merasakan betul beban moral bertemu kepada narasumber yang merasa dianiaya hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. Yang suaranya tidak didengar karena mereka miskin dan tidak mengenyam pendidikan sebagai mana mestinya rakyat yang hidup di zaman merdeka dari penjajahan selama berpuluh-puluh tahun. Bahwa media adalah pintu terakhir mengadukan nasib mereka. Saya merasa bahwa tugas sebagai jurnalis sangat penting dalam situasi ini. Saya memiliki tugas yang bisa membantu orang lain. Walau pun terkadang ada resiko kerja yang tak terhidarkan seperti diusir, dihalang-halangi, dianiaya, maupun dicaci-maki. Gaji pas-pasan adalah sebuah keniscayaan, tidak perlu dibahas lebih lanjut.

Kembali ke ajang Press Freedom Day 2017. Kehadiran saya pada saat itu tidak saja untuk menghadiri acara penuh diskusi dan diskursus selama 4 hari itu, tetapi membawa isu kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh sejumlah anggota PASKHAS AU di Kelurahan Sarirejo Medan Polonia pada 15 Agustus 2016 lalu. Kasusnya mandek. Saya ingin menanyakan sikap dan tindakan Dewan Pers terhadap 7 jurnalis korban aniaya termasuk satu jurnalis perempuan yang terkena kekerasan seksual oleh anggota PASKHAS AU. Aksi solidaritas jurnalis terjadi dimana-mana mengecam kebrutalan para tentara itu. Sudah lapor ke Komisi 1 DPR RI. Sudah lapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sudah lapor ke Komnas HAM. Mereka sudah datang, berdialog dengan korban dan pihak POM AU yang telah memeriksa para saksi korban, tapi kasus itu tetap jalan di tempat.

Ketua Dewan Pers yang saya ajak bicara enam mata berjanji akan memanggil Danlanud Polonia setelah acara Press Freedom Day selesai untuk membahas progress kasus ini. Kami catat dan menunggu hasil pertemuan mereka. Lalu, saya mendatangi kantor LPSK di Cijantung. Mereka sudah menyurati Pengadilan Militer Medan menanyakan apakah berkas kasus penganiayaan tersebut sudah dilimpahkan ke pengadilan militer. Tiga bulan surat itu tidak mendapat jawaban. LPSK berjanji akan menyurati kembali dan langsung berkordinasi dengan Mabes TNI di Cilangkap. Saya catet. Lalu saya bersama teman saya mendatangi Komnas Perempuan, janji jumpa dengan Mariana Amiruddin – mantan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan yang sekarang menjadi salah satu komisioner di sana. Mariana menerima baik pengaduan lisan kami, terkait kasus kekerasan seksual yang dialami satu jurnalis perempuan pada saat meliput peristiwa bentrok warga Sarirejo dengan PASKHAS AU 15 Agustus 2016. Namun kami harus membuat pengaduan tertulis, berupa kronologis dan surat permohonan advokasi secara resmi melalui FJPI. Kami catet. Lalu, kami kembali ke Medan dengan semangat positif melakukan tindak lanjut ‘perjalanan dinas’ kami dari acara Press Freedom Day.

Sidang terhadap pengeroyok jurnalis di Sarirejo disidangkan sebulan kemudian. Tepatnya awal Juni 2017. Hanya ada 2 anggota PASKHAS AU yang diseret ke pengadilan militer, yakni Pratu Romel Sihombing dan Prada Kiren Singh. Mereka berdua dijerat pasal pengeroyokan dan penganiayaan terhadap satu saksi korban yang ‘kebetulan’ mengingat nama pelaku. Korban jurnalis yang lain, senyap. Pratu Romel Sihombing dituntut 6 bulan penjara dan divonis bersalah karena penganiayaan dan dihukum 3 bulan penjara. Prada Kiren Singh dituntut 6 bulan penjara dan persidangan masih berlangsung saat ini. Sementara, jurnalis perempuan yang hendak kami dampingi mengadukan kasus ini ke Komnas Perempuan, memilih mundur dari perjuangan karena lelah berharap. Kami tidak mampu meyakinkan rekan kami tersebut untuk menuntut keadilan. Kami tidak bisa melanjutkan upaya hukum terhadapnya.

Namun ternyata kekerasan terhadap pers tidak itu saja. Saya mendapat kabar bahwa tanggal 2 Mei 2017 telah terjadi penangkapan terhadap 7 mahasiswa yang berdemo di Simpang Kampus USU. Saat itu mereka aksi Hari Pendidikan Nasional dan menuntut pendidikan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia. Empat di antaranya bahkan dikenai pasal pengeroyokan terhadap satu anggota intel polisi yang ada di lokasi aksi, sisanya dilepas karena tidak cukup bukti. Tiga mahasiswa dan satu warga dituduh sebagai pelaku. Mereka ditangkap, dipukuli, dilarang bertemu keluarga dan tidak didampingi pengacara, lalu dijerat pasal penganiayaan terhadap aparat. Dua di antaranya, adalah anggota pers kampus yang meliput aksi. Satu lagi, mahasiswa baru yang ikut aksi dan sempat diopname karena dipukuli sejumlah polisi di RS Bhayangkara. Satu lagi, adalah warga yang kebetulan lewat di lokasi kejadian dan hendak melerai pengroyokan terhadap satu mahasiswa di depan gerbang pintu 1 USU.

Saya tertegun karena syok. Kejadian ini menguji nyali saya sebagai orang yang baru mendapat enerji dari perhelatan akbar di ibukota dan mengikuti rally movie dan diskusi di Kineforum Taman Ismail Marzuki  yang bertema “Menolak Bala”. Jiwa dan pikiran saya merasa penuh usai berdiskusi dan menonton film dengan subtema seni membangkang, kuasa massa, provokator budiman. Ada banyak film tentang ketidakadilan yang saya tonton di sana. Seperti film Marsinah, Spotlight, Burma VJ : Reporting From A Closed Country, Give Up Tomorrow, Kantata Takwa, Nada dan Dakwah, dan banyak lagi. Lalu saya dihadapkan pada kisah nyata teranyar dan di dekat tubuh saya pula. Ini bukan film, ini bukan bahan diskusi. Ini adalah fakta terdekat dan terkait adik junior saya di organisasi. Penangkapan dan penganiayaan mahasiswa, penggrebekan sekretariat organisasi. Dan yang paling menyakitkan adalah kriminalisasi 4 orang yang dituduh menganiaya intel polisi.

Agustus 2017, sidang perdana digelar di Pengadilan Negeri Medan. Mereka disidang dengan menghadirkan saksi-saksi dari kepolisian dan sekuriti kampus USU. Saya mengikuti seluruh rangkaian persidangan hingga 19 kali. Saya merekam keterangan mereka satu per satu dengan kamera video. Banyak kejanggalan. Di antaranya, saksi-saksi dari JPU melihat 4 terdakwa sebagai pelaku karena disodori foto dan video kejadian oleh penyidik saat pemeriksaan di kantor polisi, namun foto dan video tersebut tidak pernah dihadirkan sebagai barang bukti ke persidangan. Para saksi juga memberi keterangan berbeda pada saat di BAP dan di persidangan. Barang bukti berupa sebongkah batu, satu jaket merah, dihadirkan sebagai bukti tanpa ada keterkaitan langsung dengan pokok perkara. Apakah di batu tersebut ada sidik jari satu atau keempat terdakwa? Hal ini tidak ada dibahas dalam persidangan.

Alibi keempat terdakwa, bahwa mereka tidak pernah bertemu dengan korban, tidak pernah memasuki kampus USU (kecuali satu terdakwa yang mahasiswa USU), tidak pernah dipertemukan dengan saksi-saksi dan korban saat diperiksa polisi, dan ada saksi a de charge yang menguatkan alibi mereka, diungkap ke persidangan. Bahwa ada video pemukulan justru dilakukan oleh polisi terhadap satu terdakwa yakni pemuda warga sipil yang hendak melerai pengroyokan oleh polisi terhadap satu mahasiswa, dan sudah diserahkan ke majelis hakim. Bahwa kedua mahasiswa anggota pers kampus itu ditangkap dan dipukuli karena merekam aksi pemukulan polisi terhadap satu mahasiswa dan warga sipil di depan gerbang pintu 1 USU. Dan semua alibi itu ditolak hakim.

Hari ini, 7 Desember 2017 pukul 18.00 wib, keempat terdakwa divonis bersalah melakukan penganiayaan kepada Henri Joice, seorang intel polisi dari Polsek Delitua yang masuk ke dalam kampus USU saat terjadi aksi lempar antara mahasiswa dan warga beserta polisi berpakaian preman. Videonya ada. Wajahnya terlihat jelas. Saya, mengumpulkan semua video dan keterangan para saksi untuk dijadikan film dokumenter berjudul “Suara dari Jalanan”. Film ini adalah sebuah dokumentasi betapa ketidakadilan itu nyata, vulgar alias terang-terangan, tidak malu-malu, dan tidak takut ajab. Polisi, jaksa, hakim, mereka adalah aparat negara yang digaji oleh uang rakyat dan disumpah atas nama Tuhan terkait jabatannya. Atas nama negara mereka menjatuhkan vonis itu tanpa mempertimbangkan suara para pemuda malang itu. Tanpa mempertimbangkan fakta dan bukti yang mereka ajukan.

Sejak mengetahui kasus ini saya menolak diam dan mengikuti seluruh kegiatan konsolidasi mahasiswa yang menuntut pembebasan rekan juang mereka. Menuntut pembungkaman atas pers, dunia yang saya geluti selama ini. Karena ternyata, aksi kekerasan yang dialami oleh mahasiswa tidak hanya itu. Enam mahasiswa ITM di-DO karena sempat ditangkap Polsek Medan Kota karena melakukan aksi. Di Unimed, sekarang keluar Surat Edaran dilarang berdemonstrasi di dalam kampus. Seorang mahasiswa USU, dikeroyok puluhan Satpam USU di dalam kampus hingga kritis pada Oktober 2017.

Suara mahasiswa dihantam bertubi-tubi dengan sangat kejam oleh para ‘orangtua’. Generasi yang harusnya mendidik dan menjadi teladan bagi generasi penerus. Kebebasan berpendapat, berekspresi, menjadi ‘tindakan kriminal’ yang harus dibasmi di dalam kampus. Kekejian ini sungguh menyayat hati. Saya, yang merasa merdeka, menyaksikan luka-luka para mahasiswa itu, tidak bisa menahan diri untuk mengutuk. Saya hampir kehilangan kepercayaan diri bahwa negara ini masih bisa diselamatkan. Bahwa keadilan akan menemukan kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keempat orang itu dihukum 7 bulan penjara, sementara mereka telah dipenjara selama 7 bulan. Negara telah merampas 7 bulan masa muda mereka karena dituduh melakukan kejahatan yang tidak mereka lakukan. Ini adalah kejahatan yang tidak bisa dimaafkan. Saya mengutuk ketidakadilan ini dengan seluruh jiwa raga saya. Bagi sebagian orang mungkin kejadian ini hanya sebuah peristiwa naas dengan hukuman 7 bulan. Tapi bagi saya ini adalah pembunuhan terhadap keadilan dan hidup 4 pemuda yang dianiaya bertubi-tubi. Siapa yang akan membayar ini semua? Tuhan, ijinkan saya mengutuk mereka yang telah melakukan ketidakadilan dan merampas kebebasan hidup orang lain. (diana saragih)

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini