Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) belakangan ini banyak menimbulkan masalah. Pasalnya, hanya dengan mengunggah status di media sosial bisa dipenjara. Akibat adanya undang-undang ini, banyak warga yang harus mendekam di sel tahanan hanya karena mengkritik melalui media sosial.
“Dengan memperhatikan kondisi yang seperti ini, maka sudah sangat penting untuk merevisi undang-undang. Apalagi di era sekarang ini kita tahu sendiri internet sudah menjadi kebutuhan, dan media sosial banyak sekali. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara yang penduduknya terbanyak menggunakan media sosial, baik itu facebook, twitter, instagram, path dan lain-lainnya,” Ujar Surya Adinata, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, dalam seminar “Pentingnya Mendorong Perubahan UU ITE” di Hotel Dharma Deli, Medan, Jumat (30/1/2015).
Surya menjelaskan permasalahan lain yang mengemuka dari UU ITE adalah tidak adanya aturan yang memadai mengenai konten internet. Terutama konten yang dianggap ilegal. Kekosongan hukum pengaturan konten internet tersebut, telah membuka ruang bagi pemerintah untuk melakukan pemblokiran konten secara semena-mena.Selanjutnya untuk ketentuan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini, hal itu sudah menjadi instrumen yang begitu efektif untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Apalagi pada Pasal ini ancaman hukumannya selama 6 tahun penjara. Dimana jika merujuk pada Pasal 21 KUHAP, maka penyidik bisa saja langsung melakukan penahanan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana pencemaran nama baik melalui internet,” tambah Surya.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur LBH Pers Padang, Ronny Saputra. Ia menyatakan, dengan penerapan UU ITE ini, sudah banyak warga yang harus berhadapan dengan hukum, diadili kemudian dipenjara. Seperti seorang tukang sate yang sempat dipenjara karena mengunggah foto yang dianggap tidak pantas tentang Presiden Joko Widodo melalui akun facebook. Kemudian Florence yang juga harus berhadapan dengan hukum karena mengkritik sebuah SPBU di Yogyakarta lewat status di path.
“Ini merupakan contoh-contoh yang harus berhadapan dengan hukum hanya karena mengkritik di media sosial. Untuk itu, penting penelaahan ulang dan revisi UU ITE. Pentingnya mendorong aparat penegak hukum agar memiliki pemahanan dan pengetahuan yang memadai soal UU ITE,” ujar Ronny.
Ironisnya, tambah Ronny, kebanyakan pelapor UU ITE ini adalah pejabat-pejabat tinggi. Mulai dari bupati, anggota DPRD, menteri hingga presiden. Sementara korbannya hanya rakyat biasa. “Jadi di sini seperti ada upaya untuk membungkam agar tidak mengkritik,” paparnya.
Para pejabat yang tidak mau kebobrokannya terbongkar, selalu memanfaatkan UU ITE ini untuk membungkam masyarakat yang mengkritiknya. Bahkan, media atau insan pers pun kerap menjadi korban. Tak jarang ditemukan adanya kasus kekerasan terhadap wartawan di berbagai daerah di Indonesia ini.
“Jadi, kita menilai sudah saatnya UU ITE ini direvisi. Karena dengan adanya undang-undang ini sudah menghalangi kita untuk berekspresi. Padahal menurutnya, UUD memberikan kebebasan kepada warganya untuk memberikan pendapat, mengkritik dan lainnya.” tandasnya. (jpI)