Namanya jurnalis, sudah pasti kakinya panjang, alias suka jalan-jalan. Jika teman-teman saya ramai-ramai ke Bukit Tinggi, saya memutuskan untuk melipir ke Kota Tua Padang. Perjalanan ke Kota Padang, tidak lengkap rasanya jika tidak keliling kota tua-nya. Apalagi, kota ini termasuk salah satu dari sedikit kota di Indonesia yang masuk dalam jaringan Kota Pusaka Indonesia.
Awalnya saya tidak tahu dan tidak sempat googling tentang wisata di Padang, karena sibuk menyiapkan Konferensi Jurnalis Perempuan Indonesia yang menjadi agenda utama Forum Jurnalis Perempuan Indonesia di momen HPN 2018 Padang. Namun, sepulang dari bersantai di Pantai Air Manis, bus yang kami tumpangi lewat di jembatan Siti Nurbaya. Terlihatlah sekilas, jejeran bangunan tua di pinggir Sungai Batang Arau. Saya langsung penasaran dan memutuskan menyiapkan waktu untuk menjelajahinya sebelum kembali ke Medan. Nah, saya pun memutuskan berkhianat dari teman-teman FJPI lainnya yang ramai-ramai ke Bukit Tinggi. Saya mau keliling kota Padang saja, toh Bukit Tinggi sudah 2 kali saya kunjungi.
Sekira pukul 10 pagi, saya mulai berangkat. Destinasi pertama saya hari itu adalah Jalan Gereja. Naik angkot arah Pasar Raya, saya hanya perlu mengeluarkan ongkos Rp4.000 saja. Di kawasan ini, saya mengunjungi museum Adityawarman dan tiga gereja Katholik. Di Gereja Katholik Santa Manaoag, saya berkesempatan berdoa di Goa Maria, meneguk air berkat, dan beristirahat sejenak. Kebetulan melihat ada warung sate di dekat parkiran gereja, saya lalu makan siang di sana.
Destinasi selanjutnya tentu saja Pasa Gadang atau Pasar Hilir. Dari tempat saya makan siang, saya memesan ojek daring dengan ongkos hanya Rp3.000 saja. Jaraknya dekat, hanya 3 Km. Saya gembira, perjalanan sejauh ini sangat ramah di kantong. Namun saya memutuskan tidak berangkat saat itu juga. Cuaca terik di siang bolong ini, sangat tidak nyaman untuk menjelajah. Lobi hotel Kyriad di samping gereja, menjadi tujuan saya ngadem, sambil ngecas baterai HP.
Pukul 4 sore, saya mulai perjalanan lagi. Ojek daring mengantar hingga ke Pasar Hilir, melewati Kampung Nias. Tukang ojek meninggalkan saya begitu saja. Pasar Hilir bukanlah pemandangan yang saya saksikan ketika di jembatan Siti Nurbaya kemarin. Saya pun celingak-celinguk, memperhatikan beberapa bangunan toko tua yang masih beraktifitas. Sebagian gedung toko lainnya sudah tutup. Saya berjalan kaki sebentar lalu menemukan sebuah coffee shop bernama Kota Tua. Saya pun singgah dan memesan teh susu panas. Pengunjungnya sepi, pelayanannya standar. Saya hanya menemukan beberapa foto gedung zaman kolonial yang saya duga ada di sekitar tempat itu.
Sayangnya, tidak terdapat informasi peta atau skema atau petunjuk jalan bagi para pendatang seperti saya untuk menjelahi kawasan kota tua ini. Mungkin ini bisa menjadi catatan bagi pemilik coffee shop di kawasan wisata, untuk menaruh peta atau petunjuk jalan tentang kawasan wisata daerah itu. Di sejumlah referensi yang saya baca di internet juga, tidak akurat memberi petunjuk jalan bagi pendatang. Akhirnya, saya hanya pakai insting saja. Benarlah apa kata pepatah, takut bertanya ya jalan-jalan.
Saya lanjut berjalan ke arah Pasar Mudik. Mencoba mencari jalan ke tepi sungai Batang Arau. Bukannya menemukan, saya malah berjalan jauh ke hulu dan tidak juga menemukan aliran sungai Batang Arau. Saya sempat menghardik diri sendiri, kenapa tidak bertanya pada masyarakat sekitar, dan kenapa saya hanya mengikuti kaki melangkah yang sudah hampir sejam, meskipun tidak juga merasa lelah. Mungkin itu karena saya menemukan beberapa objek foto yang menarik. Sepertinya ketersesatan ini saya nikmati.
Sebuah jalan kecil akhirnya menuntaskan pencarian saya. Melewati jalan kecil itu saya lalu menemukan Sungai Batang Arau. Wah, pemandangan sorenya luar biasa. Airnya bersih dari sampah, angin semilir, dan matahari mulai redup. Kamera yang sedari tadi terus memotret menemukan klimaksnya di atas jembatan. Sejauh mata memandang, hijau pegunungan kontras dengan warna-warni cerah rumah penduduk. Di ufuk barat, matahari senja tampak cantik. Ternyata ini hikmah saya berjalan ke hulu, supaya menuju hilir saya menemukan keseluruhan panorama di Sungai Batang Arau. Sungguh, mata saya berbinar-binar menemukan pemandangan sore di kawasan ini. Angin sore yang sejuk dari arah pegunungan hijau menambah energi untuk menelusuri tepi sungai. Melihat anak-anak bermain layangan, bermain bola dan bermain sepeda. Beberapa nelayan menyiapkan kapal yang bersandar di tepi, siap berlayar nanti malam.
Berjalan semakin ke hilir, bangunan tua bergaya art deco mulai terlihat satu per satu. Saya pun kembali menyeberang dengan sebuah jembatan kecil dan menemukan sebuah cafe bar dengan interior cat berwarna hitam. Saya mulai menemukan grafiti dan mural di banyak tempat. Kualitas gambar yang baik dan warna yang kontras dengan sejumlah bangunan tua, membuat street art ini menambah eksotis bangunan tua yang kebanyakan sudah tidak layak huni lagi. Kamera saya tidak berhenti memotret. Semua hal yang saya temui adalah hal yang menarik meskipun bukan hal baru. Di Medan, grafiti dan bangunan tua juga saya temui, namun di sini terlihat lebih menarik.
Melangkah tanpa petunjuk jalan yang jelas mungkin akan membuat saya kehilangan banyak situs yang mungkin jadi sajian utama di kota tua Padang ini. Namun, sejauh ini saya begitu merasa sangat beruntung. Saya menemukan hal menarik di sini, lagi dan lagi. Dan viola, ada pasar malam Imlek di kawasan Pecinaan. Dekorasi menyambut Imlek terlihat di sana sini. Orang-orang berkumpul dan bersantap, sebagian lagi ngopi sore. Saya memutuskan untuk tidak berlama-lama di sana, karena hari semakin senja. Tujuan utama saya belum terpenuhi, dan saya takut hari terlalu gelap untuk mengambil foto.
Saya lalu berjalan lagi mengikuti ruas Jalan Batang Arau ke arah jembatan Siti Nurbaya. Akhirnya saya menemukan jejeran bangunan tua yang saya idam-idamkan itu. Sebagian bangunan sudah direhabilitasi dan dimodifikasi. Namun, sebagian lagi masih menjadi bangunan terlantar. Kawasan kota tua Padang sudah banyak dibenahi. Tidak seperti sungai Deli di Medan yang menjadi tong sampah terpanjang di dunia dan berada di belakang bangunan-bangunan, di sini Sungai Batang Arau menjadi bagian depan bangunan-bangunan yang ada di sepanjang aliran sungai. Kebersihannya terjaga. Tepi sungai menjadi ruang terbuka untuk arena bermain dan olahraga. Sejumlah truk makanan dan kedai kopi kecil mangkal di situ dengan rapi. Tidak berjubel dan mengganggu pejalan kaki. Suasananya benar-benar asyik untuk santai. Saya pun tergoda untuk nongkrong di salah satu kedai kopi kecil dan memesan teh manis dingin sambil menikmati suasana sunset di pinggir sungai.
Menunggu waktu maghrib lewat, dan kembali berjalan ke jembatan Siti Nurbaya untuk mengambil suasana malam di tepi sungai. Panorama malam sungguh berbeda keindahannya, namun sama-sama menarik. Saya suka tempat ini. Sangat berkesan. Rasa aman karena keramahan orang-orangnya, dan tidak terasa arus hilir mudik yang padat khas suasana kota di tempat ini. Rasanya saya puas jalan-jalan kali ini. Pukul 7 malam saya pun pulang ke tempat penginapan. Pesan ojek daring, saya hanya perlu merogoh kocek Rp13.000 saja. Well, perjalanan yang menarik dan murah. (Diana Saragih)