JAYAPURA | fjpindonesia.com – Rumah berukuran 10×5 meter milik Dikanor Ohee di tepian Danau Sentani, Distrik Heram Kota Jayapura sangat memprihatinkan. Bangunan yang terbuat dari material papan itu tak memiliki pintu dan jendela, hanya beratapkan seng yang bocor dimana-mana.
Berjalan diatas rumah papan yang dihantam ombak itu harus berhati-hati sebab banyak papan yang bolong. Dikanor ohee atau biasa disapa tete Doni sudah menempati rumah itu sejak tahun 1995. Tete adalah sebutan yang biasa digunakan masyarakat lokal yang berarti kakek.
Semenjak dibangun, lantai rumah itu sudah tiga kali dinaikan sehingga membuat atap menjadi rendah. Dapurnya masih menggunakan tungku bakar yang sangat tradisional. Kamar tidurnya beralaskan triplek dan busa kasur tipis tanpa seprei.
Tete Doni memiliki enam orang anak, empat diantaranya sudah menikah dan menjalani kehidupan sendiri. Kini ia tinggal bersama istrinya Elisabeth Ohee, 52 tahun dan kedua anaknya dirumah papan itu.
Dalam kehidupan sehari-hari pria berusia 60 tahun itu bertahan hidup dengan menjaring ikan lalu menjualnya di pasar dadakan di dekat terminal Ekspo Waena, Distrik Heram.
“Dulu kami tinggal di rumah keluarga yang ada didepan sana, tapi setelah dijual kami pindah disini,” kata tete Doni, Kamis 21 Feruari 2019.
Dulu tete Doni bekerja sebagai buruh lepas di Dinas Kebersihan tahun 1982 silam. Setiap hari ia mengangkat sampah dari rumah warga di sekitar Perumnas I hingga Perumnas III Waena. Upah yang dihasilkan saat itu sebesar 7 ribu rupiah perbulan dari kelurahan.
“Saya memulai aktifitas pukul 03.00 Wit sampai pukul 08.00 Wit. Paling banyak sampah diangkut hari Senin. Saya yang kumpulkan sampah lalu saya opor ke petugas lain diatas mobil bak,” ujarnya ambil tersenyum-senyum mengingat.
Namun akibat penyakit asma yang dideritanya, tete Doni memutuskan berhenti di tahun 2002. Bekerja sebagai buruh sampah selama puluhan tahun rupanya tak membuat tete Doni lepas dari jeratan sampah.
Rumah yang dihuninya selama puluhan tahun itu menjadi sasaran penumpukan limbah sampah dari pemukiman warga yang tinggal di wilayah Waena, Perumnas I dan III, Ekspo dan Sentani. Setiap kali hujan datang, rumah tete Doni dipenuhi berbagai macam jenis sampah.
“Arusnya mengalir kesini, kalau banjir disini penuh dengan sampah sampai masuk dirumah. Ada macam-macam seperti perut ikan, botol-botol sampai kemasan pelastik semua tumpuk disini,” ungkapnya.
Uapan sampah disekitar tempat tinggalnya pun tak sedap, namun tete Doni berkata sudah terbiasa dengan hal itu. “Yah sudah kebal,” ucapnya singkat sembari menggaruk tangannya yang terkena penyakit kulit akibat air yang tercemar.
Meski begitu, tete Doni dan keluarga tak menyia-nyiakan sampah plastik ini. Ia memilah sampah yang memiliki nilai ekonomi. Tak jarang pengepul mendatangi tempatnya dan membeli sampah plastik yang dikumpulkan.
“Mereka beli mulai dari 1000 rupiah perkilo. Paling banyak kami terima 30 hingga 50 ribu sekali angkut dari penjualan sampah,” tuturnya.
Sementara, untuk sampah lain yang tak dapat dijual, tete Doni mengumpulkannnya di tepi dan membiarkannya hingga kering lalu dibakar. Ia paham jika membakar sampah plastik sangat berbahaya tetapi tak ada pilihan lain.
“Iya saya tahu, dokter juga bilang begitu, tapi mau bagaimana lagi. Kalau dibiarkan nanti semakin menumpuk,” ujarnya.
Meski dengan kondisi yang seperti itu tete Doni enggan meninggalkan rumahnya, ia mengatakan tak senang dengan suasana keramaian. Kini tete Doni hanya bisa berharap ada perhatian dari pemerintah Kota Jayapura untuk menyelesaikan persoalan sampah dirumahnya.
“Saya tidak suka kalau ramai, apa lagi kalau ketemu dengan orang mabuk saya gampang terpancing emosi. Saya suka disini karena tenang,” ungkapnya.***(Kabarpapua.co/Liza Indriyani)