Oleh: Khairiah Lubis

PUKUL tiga sore, pertengahan Oktober 2019. Ruang tamu Medan Plus di Jalan Wijaya Kesuma Medan penuh dengan para ibu beserta anak-anak mereka yang akan mengikuti pertemuan rutin Forum Peduli Anak dengan HIV Aids (FP ADHA Sumut).

Suara ibu-ibu yang sedang bercerita dan anak-anak yang bermain cukup riuh, menenggelamkan suara bujukan Melisa kepada putra sulungnya, Boy yang tampak
sedang sakit. Kedua nama ini bukan nama sebenarnya.

Melisa sendiri terlihat kurang fit. Matanya kuyu dan wajahnya pucat. Selama dua minggu menunggui Boy di rumah sakit membuatnya kurang beristirahat. Jumlah
CD4 atau sel darah putih untuk sistem imun tubuh Boy, menurun hingga 29 sel/mm3 dari standar 500-1.600 sel/mm3, seiring dengan turunnya berat badan Boy hingga ke angka 14 kilogram. Resistensi obat membuat Boy sekarang harus mengonsumsi anti retroviral (ARV) lini ke-2. Umur Boy sembilan tahun. Sejak terus-terusan sakit selama setahun ini, Boy tidak lagi pergi ke sekolah. Anak seusia Boy sekarang sudah duduk di kelas tiga sekolah dasar.

“Ayo, makan lagi nak,” kata Melisa menyemangati Boy yang pelan-pelan mengunyah ayam goreng di nasi kotak.

“Baru ini dia mau makan. Kemarin tidak ada seleranya, takut sekali saya,” tutur Melisa kepada saya.

Melisa berusia 31 tahun. Anaknya tiga orang. Boy anak pertama, diketahui positif HIV ketika berusia empat tahun, sekitar lima tahun lalu. Melisa mengetahui Boy terinfeksi HIV virus karena kematian adiknya, putra kedua Melisa, yang meninggal secara tiba-tiba.

“Dokter di Puskesmas heran, kenapa anakku bisa meninggal tiba-tiba. Akhirnya kami disarankan untuk VCT. Saya dan Boy terlebih dulu yang diperiksa. Dan hasilnya, saya dan Boy positif HIV! Oh Tuhan, rasanya seperti disambar petir!” ungkap Melisa.

Dua hari setelah Melisa dan Boy melakukan VCT (voluntary counseling and testing), suaminya, John, memeriksakan diri. John positif HIV. John seorang supir. Sering keluar kota. Ketika John akhirnya mengetahui bahwa dia, istrinya, dan dua anak mereka terinfeksi HIV, dia sangat menyesal. John tidak lagi kerja menjadi supir. Sekeluarga, mereka mulai mengikuti terapi ARV. Saat Melisa dan John ingin mempunyai anak lagi, mereka melakukan terapi, Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA), sehingga anak ketiga mereka, Andrew, bukan nama sebenarnya, lahir negatif HIV dan sekarang sudah berusia tiga tahun.

Meskipun sudah lima tahun ini Melisa mengetahui statusnya positif HIV, tapi baru satu bulan ini dia mampu membuka statusnya tersebut kepada ibunya. Selama ini Melisa menyimpan rapat-rapat statusnya, dari ibu dan adik-adiknya.

“Sudah lama saya memikirkannya, saya bingung bagaimana cara memberitahu ibu saya. Lalu saya minta saran dari Bang Toton dan relawan di Medan Plus. Mereka menyarankan saya untuk terbuka kepada ibu saya. Akhirnya, pada saat Medan Plus ulang tahun dan buat kegiatan bersama kami, saya ajak ibu saya datang. Sebelumnya saya minta tolong dengan relawan agar menemani saya ketika membuka status ke ibu saya,” kisah Melisa.

Acara ulang tahun Medan Plus saat itu diramaikan ibu dan anak-anak yang menjadi didampingi Medan Plus. Melisa sengaja mengambil momen itu agar ibunya tidak terlalu sedih memikirkannya. Ada banyak anak-anak seperti Boy juga yang mengalami nasib yang sama.

“Saya mau tunjukkan ke ibu saya bahwa Boy tidak sendiri yang bernasib seperti ini, tapi ada banyak anak-anak lain yang juga positif HIV di Medan,” kata Melisa.

Setelah mengungkapkan rahasia besarnya kepada ibunya, Melisa merasa lega. Dia jadi punya teman untuk berbagi cerita. Apalagi, selama empat bulan ini, dia benar-benar tertekan dengan kondisinya. Suaminya, John, masuk penjara.

“Dia terkena kasus narkoba, sudah empat bulan dia di dalam,” katanya dengan suara tercekat.

“Saya sudah tidak tahu harus berkata apalagi. Harusnya dia sadar, bahwa kami, saya dan anaknya, sudah terinfeksi HIV karena ulahnya. Tapi, sudahlah, saya tidak mau memikirkannya lagi,” kata Melisa.

Meski tubuh mulai sakit-sakitan karena virus HIV membuat daya imun tubuhnya hilang, dan harus merawat anak yang sakit, Melisa tetap mengirimkan obat ARV kepada John di lembaga pemasyarakatan.

“Saya tetap kirimi dia ARV, supaya dia tetap sehat. Saya harap dia bisa sadar dengan perbuatannya di dalam sana,” kata Melisa.

Kini, Melisa hanya ingin fokus merawat Boy. Kondisi Boy yang sakit memang tidak memungkinkan Melisa untuk bekerja. Tapi dia bersyukur, ada adik dan ibunya yang membantunya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kisah Melisa hanya satu dari sekian banyak kasus ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV dari suami di Medan. Data dari Kementerian Kesehatan RI pada triwulan I/2019 mengungkapkan faktor risiko manusia terinfeksi HIV/Aids terbanyak adalah di kalangan Heterogen sebanyak 81.198 kasus dengan persentase 70,24 persen, diikuti pengguna obat-obatan suntik atau Injecting Drug User (IDU). Setelah itu pengguna narkotika berbasis jarum suntik sebanyak 9.624, persentase 8,33 persen. Di kalangan Homogen terdapat 7.853 kasus dengan persentase 6,79 persen.

Jumlah kasus HIV yang dilaporkan sejak 2005 sampai dengan 2019 terus naik setiap tahun. Ada lima provinsi dengan jumlah kasus HIV tertinggi yang menempati peringkat satu sampai lima, yaitu: DKI Jakarta sebanyak 62.108, Jawa Timur 51.990, Jawa Barat 36.853, Papua 34.473, dan Jawa Tengah 30.257. Sedangkan lima provinsi pada peringkat enam sampai sepuluh yaitu Bali 20.356, Sumatera Utara 17.957, Sulawesi Selatan 9.442, Kepulauan Riau 9.386, dan Banten 8.967 kasus.

Dari jumlah kasus AIDS berdasarkan pekerjaan atau status, didapatkan tenaga
non professional atau karyawan sebanyak 17.887, ibu rumah tangga 16.854, wiraswasta/usaha sendiri 15.236, petani/peternak/nelayan 5.789, dan buruh kasar 5.417. Tingginya angka penularan HIV/AIDS pada ibu rumah tangga saat ini memang cukup memprihatinkan. Ibu rumah tangga adalah seorang yang berisiko rendah menularkan HIV, namun dia adalah orang yang mempunyai angka tertinggi tertular HIV/ AIDS. Malangnya, ibu rumah tangga sering tidak mengetahui bahwa dia sudah tertular HIV dari suaminya, sehingga hamil, lalu melahirkan anak yang positif HIV.

Dr Yulia Maryani, Kepala Seksi Pencegahan Penyakit Menular Langsung Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara mengungkapkan kepada saya, data yang ia terima dari Konseling dan Tes HIV Sukarela di Provinsi Sumatera Utara, pada Agustus 2019, terdapat 133 kasus HIV Positif baru. Dari 57 ibu hamil yang dites HIV, sebanyak dua orang dinyatakan HIV Positif.

“Ini yang melaporkan data ya, yang tidak melapor tentu lebih banyak lagi,” kata Dr Yulia.

Program pemerintah untuk pencegahan penularan HIV Positif pada ibu dan anak terus dijalankan. Pemerintah melakukan sosialisasi langsung di Puskesmas, juga bekerjasama dengan Kantor Urusan Agama (KUA) melalui Program Catatan Pengantin.

“Jadi pasangan yang ingin menikah, menjalani tes HIV. Jika hasil tesnya misalnya terdapat pasangan HIV Positif, pernikahan tetap bisa dilanjutkan. Calon pengantin di-konseling untuk tahu kadar CD4 nya dan mengikuti program Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak, agar tidak saling menularkan dan mencegah anak positif HIV,” kata Dr Yulia.

Ada empat Prong atau pendekatan yang dilakukan sesuai dengan Program PPIA. Prong pertama yaitu pencegahan penularan HIV pada perempuan di usia produktif. Prong kedua pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif. Prong ketiga pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya. Prong ke empat, pemberian dukungan psikologis, sosial keperawatan kepada ibu HIV positif beserta anak dan keluarganya agar tetap dapat hidup sehat.

Menurut Dr Yulia, banyak tantangan yang mereka hadapi untuk bisa melaksanakan program ini. “Yang pertama, tidak semua orang yang berperilaku risiko mau dites HIV,” kata dia.

Namun, lanjutnya, untuk ibu hamil, mereka sudah melakukan penjaringan di Puskesmas. Setiap ibu hamil yang memeriksakan diri di Puskesmas wajib dites HIV. Tapi tidak semua ibu hamil juga dapat didata kondisinya. Karena untuk ibu hamil yang periksa di praktek mandiri tidak ada ketentuan harus tes HIV. Rahmat Kurniawan, Direktur Sumatera Peduli Kesehatan (SPKS), lembaga pendamping ODHA mengatakan, prong 1 dan prong 2 pada PPIA selama ini tidak berjalan. Yang banyak ditangani adalah prong 3, yaitu ketika ibu sudah melahirkan anak dengan HIV AIDS Menurut Rahmat, sebenarnya program; PPIA dapat dilaksanakan, ika ada komitmen semua pihak yang bertanggungjawab untuk mengatasi permasalahan HIV/AIDS ini, yaitu jajaran kesehatan, dan juga Komisi Penanggulangan AIDS. Selain itu, alokasi anggaran untuk pelaksanaan PPIA ini juga harus cukup, agar program dapat berjalan.

Sosialiasi tentang penularan HIV AIDS, menurut Priasih dari Ikatatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Sumut, sebaiknya harus semakin giat dan meluas disampaikan kepada masyarakat, termasuk kepada ibu rumah tangga, orang-orang yang melakukan kegiatan yang berisiko terinfeksi HIV seperti suami yang suka berganti-ganti pasangan, agar tidak sampai tertular dan menulari orang lain.

“Para suami harus sadar bahwa perilaku seksual mereka yang buruk bisa memberikan penyakit untuk istri dan juga anak-anaknya, sehingga mereka bisa berhenti dan mengubah gaya hidup menjadi lebih baik. Demikian juga istri, harus mendapatkan edukasi untuk menjaga dirinya agar tidak terinfeksi HIV, misalnya dengan memakai kondom ketika berhubungan, dan mengetahui perilaku suami yang berisiko sehingga bisa mewaspadai penularan HIV terhadap dirinya,” tutur Asih.

Ibu rumah tangga, menurut Asih, terlalu sering menjadi korban. Tidak sampainya informasi tentang penularan HIV/AIDS kepada para ibu rumah tangga membuat mereka tidak tahu bahwa sewaktu-waktu HIV bisa menginfeksinya, jika mereka tidak awas, dan peka terhadap perilaku suami. Jika para suami sudah sadar dan bertanggungjawab untuk tidak menularkan virusnya ke istrinya, tidak akan ada lagi Melisa, atau Boy kecil yang harus menderita.

***
Tentang Penulis:
KHAIRIAH LUBIS. Jurnalis perempuan dari Medan. Mulai menjajaki dunia jurnalistik di tahun 1996, saat bergabung dengan Majalah Dunia Wanita di Medan ketika masih berstatus mahasiswa. Selama 10 tahun ini bekerja di DAAI TV Medan sebagai Produser Program. Di Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Pusat, Khairiah Lubis mengemban amanah sebagai Sekretaris Jenderal. Bersama para jurnalis dan pemerhati kesehatan, menggagas Forum Peduli Anak dengan HIV Aids
(FP ADHA) Sumut pada 2014.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini