Medan – Disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) oleh DPR RI, pada Selasa (12/4) lalu, menjadi kabar gembira sekaligus harapan besar bagi perempuan dan anak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan dalam kasus kekerasan perempuan dan anak, yang meningkat drastis beberapa tahun belakangan.

Menyikapi perkembangan ini, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyelenggarakan webinar dengan tema “Mengawal UU TPKS di Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA)”, Sabtu (23/4).

Dalam Webinar ini terungkap bahwa sepanjang tahun 2021, terjadi sejumlah 25.210 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan dengan jumlah korban 27.127 orang. Data ini dirilis oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kemen PPPA.

Titi Eko Rahayu, Staf Ahli Bidang Penanggulangan Kemiskinan KemenPPPA mengatakan, kondisi tersebut merupakan situasi yang sangat kritis dalam Program Perlindungan Perempuan dan Anak di Indonesia.

Namun diketoknya RUU TPKS menjadi UU TPKS pada 12 April 2022, adalah kabar bahagia bagi seluruh perempuan dan anak  Indonesia. UU TPKS adalah bentuk kehadiran Negara untuk melindungi dan memenuhi hak korban kekerasan seksual. Tentu sangat banyak sekali hal yang sudah dipikirkan dan disiapkan, mengingat UU TPKS sangat komprehensif dari hulu sampai hilir termasuk di dalamnya terdapat substansi baru yang berperspektif pada korban.

Hal yang penting dapat dilakukan, menurut Titi, adalah menyiapkan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak di Indonesia.
Dalam DRPPA, desa tersebut harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakatnya, khususnya perempuan dan anak. Memenuhi hak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Serta tersedia sarana dan prasarana publik yang ramah perempuan dan anak serta kelompok rentan (lansia, disabilitas, ibu hamil, ibu menyusui dan lain-lain).

Agar DRPPA dapat terwujud, dipaparkan oleh Titi Eko, desa harus melakukan beberapa hal. Pertama, pemberdayaan perempuan  dalam kewirausahaan yang berperspektif  gender yang dibarengi dengan proses  membangun kesadaran kritis perempuan.

Kedua, menciptakan lingkungan yang mendukung proses  tumbuh kembang anak serta mendorong peran dan tanggung jawab kedua orang tua dan keluarga dalam pengasuhan anak yang berkualitas.
Ketiga, desa harus melakukan upaya-upaya khusus untuk penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Keempat; mengembangkan solusi bagi  pekerja anak dalam rangka  mengurangi pekerja anak. Kelima, melakukan upaya khusus  untuk penghentian perkawinan anak.

Sementara itu, Olivia Chadijah Salampessy, Wakil Ketua Komnas Perempuan RI mengatakan, seringnya terjadi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia saat ini, adalah karena di Indonesia masih berkembang stigma bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang biasa mendapat kekerasan.

Stigma ini pun seringkali dilegitimasi oleh media, dengan cara membuat penulisan yang tidak membela perempuan yang menjadi korban kekerasan, terutama oleh suaminya atau orang terdekat. Bahkan, sikap sebagian besar masyarakat yang tidak ingin ikut campur, jika kekerasan tersebut terjadi dalam rumah tangga, menjadi dilema yang membuat korban sangat terpuruk dan dipojokkan, tanpa pembelaan.

Padahal, menurut Olivia, hal ini hanya akan membuat pelaku merasa aman dan biasa saja, ketika melakukan tindak kekerasan terhadap istri atau anaknya.

Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Uni Lubis, dalam sambutannya, menyambut baik diketoknya RUU TPKS menjadi UU TPKS pada 12 April 2022. Ini menurutnya, adalah permulaan yang sangat baik bagi semua kalangan di Indonesia untuk melakukan pembenahan, dalam upaya untuk melindungi perempuan dan anak dari semua upaya kekerasan.
“Para jurnalis bisa membantu melalui berita, untuk menyosialisasikan UU TPKS juga menyiarkan tentang DRPPA, agar semakin banyak masyarakat yang paham tentang UU TPKS dan bagaimana masyarakat di desa khususnya perempuan dan anak mendapatkan perlindungan dan pengembangan diri, “ kata Uni Lubis.

Uni Lubis juga mengapresiasi peran semua kaum laki-laki yang ikut mengawal perjuangan untuk menggolkan RRU TPKS menjadi UU TPKS.

Sementara itu, Indra Gunawan, Plt Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kemen-PPPA, mengatakan, UU TPKS menunjukkan kehadiran  negara dalam memenuhi kewajiban memberi perlindungan bagi korban sebagaimana diamanatkan di dalam UUD 1945 maupun peraturan lainnya.

UU TPKS juga dianggap sebagai undang-undang yang komprehensif, sehingga peraturan pelaksananya harus segera diwujudkan untuk kemudian disosialisasikan kepada masyarakat sesegera mungkin. (jp/Nining)

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini