Armawati Chaniago, perempuan kelahiran 19 Desember tahun 1976 silam merupakan sosok perempuan yang patut menjadi contoh sosok Kartini masa kini. Di usianya yang masih terbilang muda, ia tetap memilih menjadi aktivis lingkungan. Belajar cara mendaur ulang sampah secara otodidak, dengan tujuan mengurangi sampah di kota Medan. Selain itu juga meningkatkan perekonomian di tengah masyarakat.
“Saya belajar sendiri dari internet. Begitu saya sudah bisa, saya coba menjualkan produk hasil daur ulang sampah. Ternyata banyak juga yang suka. Saya pikir, dari pada sampah-sampah ini dibuang begitu saja, kenapa nggak dijadikan produk yang punya nilai bisnis yang menjanjikan sekaligus mendukung usaha kebersihan lingkungan,” ungkap Armawati, saat ditemui di kediamannya, kemarin
Bermula dari kemampuannya membuat produk dari daur ulang sampah itulah kata Arma, kemudian tahun 2010 yang lalu ia diminta menjadi salah satu fasilitator pendamping masyarakat melalui program Green and Clean Pemko Medan. Dari sejak itu pula ia mulai sering memberikan pelatihan dan penyuluhan tentang pengelolahan daur ulang sampah kepada masyarakat di Medan. Bahkan hingga ke masyarakat di luar kota Medan.
“Di Indonesia ada 10 kota besar yang mendapat program Green and Clean dibawah binaan Yayasan Unilever Indonesia. Kebetulan, di Medan, saya yang ditunjuk menjadi manager fasilitatornya. Karena mendapat penghargaan sebagai manager fasilitator, saya dikirim oleh Pemko Medan untuk mempelajari mekanisne dan proses pengelolaan sampah skala kota di Kota Kitakyusu, Jepang selama 17 hari,” sebutnya.
Sepulang dari Jepang, selain membentuk Paguyuban Bank Sampah Kota Medan yang terdiri dari bank sampah yang ada di Medan, Arma ditunjuk sebagai Direktur bank sampah induk Sicanang, Belawan pada pertengahan 2014 yang lalu. Dimana, bank sampah tersebut merupakan kerja sama antara Pemko Medan dan Pemko Kitakyusu, Jepang.
“Di bank sampah inilah, kita mengelola kompos yang berasal dari pasar, sampah rumah tangga yang non organik, sampah perusahaan seperti, sampah dari PTPN, KIM dan lainnya. Ini model kerja sama yang pertama di bidang lingkungan hidup untuk persampahan antara Pemko Medan dan Pemko Kitakyusu di bawah pembinaan Badan Lingkungan Hidup kota Medan,” ucap alumni SMUN 6 Medan ini.
Menurut Arma, Paguyuban Bank Sampah ini sendiri dibentuk untuk mendukung promosi managemen dan pengelolaan bank sampah yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Selain itu juga untuk mengatasi permasalahan sampah khususnya sampah rumah tangga.
“Tahun 2014 lalu, Paguyuban bank sampah sudah punya 2.000 nasabah dengan jumlah total sampah yang dikelolah 60 ton. Sampah yang dikelola adalah sampah yang punya nilai ekonomis, seperti kertas, plastik, kaca, sepatu bekas, besi-besi dan lainnya. Dan, omzet bank sampah binaan saya bisa mencapai Rp90juta setiap bulan,” ungkapnya antusias.
Sebenarnya lanjut Arma, masyarakat bisa juga memiliki pendapatan lebih dari hasil mengolah sampah menjadi produk. Tapi, tantangannya sendiri adalah kemauan masyarakat untuk memilah sampah di rumah tangga ini yang masih sulit. Apalagi, kebijakan persampahan di Medan belum mendukung adanya usaha pemilahan sampah di tingkat rumah tangga.
“Dari 2.000 lingkungan di Medan, kami masih menjangkau 60 lingkungan saja. Itu masih kurang, karena banyak masyarakat ataupun pemerintahan yang menganggap pekerjaan ini sebagai kerjaan tambahan baru yang tidak ada hasilnya. Padahal, kalau ini diseriusi, ini bisnis yang menjanjikan. Saya saja, bisa mendapat jutaan setiap bulannya hanya dengan membuat produk daur ulang sampah,” ujarnya.
Ke depan, ia akan fokus memperbaiki desain dan pemasaran sebagai upaya agar produk daur ulang sampah yang dihasilkan dari bank sampah binaannya bisa tembus pasar ke Malaysia dan pusat toko retail. “Sampah daur ulang bisa bernilai ekonomis sekaligus menjadi metode masyarakat menata lingkungannya, dimulai dari rumah tangga,” pungkasnya. (E/jp)