Satu rekan saya di Forum Jurnalis Perempuan Indonesia, Nina Rialita, tadi pagi mengirim pesan ke saya untuk menulis artikel opini tentang kekejaman warga Cipaku-Bogor, yang mengarak sepasang kekasih yang diduga berbuat mesum di sebuah rumah kontrakan. Mereka berdua tidak saja diarak, tapi ditelanjangi, dipukuli, dan videonya direkam dan disebarkan di media sosial. Saya langsung menolak. Selain tidak melihat videonya, dan hanya membaca sekilas saja beritanya yang viral di media sosial, toh para pelaku pengarakan itu sudah ditangkap polisi.
Dia masih meyakinkan saya dan mendeskripsikan sejumlah kengerian yang dialami kedua sejoli itu di tangan para warga ‘penegak moral’ itu. Tapi saya justru semakin merinding dan memilih untuk menarik mundur diri dari pembahasan soal itu. Beban hidup jangan ditambahi dengan masalah orang. Begitu pikir saya.
Tapi berita itu ternyata masih bersambung di berita sore televisi. Bahwa penggrebekan itu dilakukan oleh ketua RT beserta pemuda setempat yang kemudian ikut diamankan polisi, total tersangka sudah ada 6 orang. Saya ternyata tidak bisa tenang dan melupakan kasus main hakim sendiri itu.
Dan akhirnya, saya berpikir, memang perilaku kekerasan masyarakat kita semakin menjadi-jadi. Sebagai warga Medan yang sekali-kali meliput berita, saya menyaksikan banyak perilaku kekerasan yang dilakukan baik oleh warga, preman, polisi, orangtua, semuanya pernah tercatat dalam berita kriminal sebagai pelaku kekerasan.
Pelaku begal, menganiaya korbannya tanpa ampun. Dibalas oleh warga yang beramai-ramai menghakimi begal yang naas ketimpuk saat beraksi. Di kawasan tempat tinggal saya, Pulo Brayan terutama di atas fly over Brayan, kerap terjadi aksi begal. Banyak korban berjatuhan, bahkan dibunuh dengan sadis. Namun pelaku begal juga tidak kalah sadis dianiaya oleh warga. Tidak saja dimasukkan ke parit ditumpuk dengan sepeda motornya sampai setengah mati, ada yang tangannya digantung di atas pohon, setengah mati, sampai polisi datang mengamankannya ke kantor polisi. Di Pematang Siantar bahkan polisi dikirimi papan bunga oleh sejumlah warga sebagai ucapan terima kasih karena telah membunuh 2 begal.
Tapi itu hanya cerita yang saya dengar. Saya tidak pernah menyaksikan aksi kekerasan itu secara langsung. Hingga malam tadi, sekira pukul 22.30 wib, terdengar suara gaduh tabrakan. Lalu lintas memang sepi di sekitar fly over Brayan jika sudah menjelang tengah malam. Jadi suara gaduh itu terdengar jelas dan keras dari dalam rumah kami. Biasanya saya tidak akan pernah mendekat jika ada kecelakaan. Saya takut lihat darah. Lagipula saya tidak berguna berada di sana, hanya akan membuat korban susah dievakuasi karena kerumunan orang.
Kali ini saya mencoba keluar rumah, melihat keadaan. Situasi masih sepi. Beberapa warga yang masih terlihat di sekitar tempat kejadian sontak mendekat. Saya pun hanya berani melihat dari jauh. Anehnya, korban yang masih terlihat tergeletak kaku itu diperlakukan dengan kasar saat dipindahkan dari tengah jalan ke pinggir.
Terdengarlah info bahwa korban kecelakaan tadi adalah pelaku begal. Ia melaju kencang turun dari fly over menuju Jalan Cemara setelah berhasil merampas sepeda motor korbannya. Namun karena diteriaki begal oleh korban sejak dari atas fly over, sebuah mobil yang kebetulan melintas lalu mengejarnya dan menabrak begal itu.
Sepeda motor itu remuk di bagian depan karena terseret dan menghantam pulau jalan. Begitu juga dengan tubuh si begal. Lelaki, usianya belum 25 tahun. Masih muda. Mengenakan kemeja kotak-kotak hitam putih dengan jeans biru. Tak lama orang-orang semakin ramai. Pengendara yang melintas pun menepikan kendaraannya dan tak sedikit yang berusaha menghakimi lagi si pelaku begal.
Di awal saya sempat heran. Belum ada kejelasan info, bukti, dan korban, tapi provokasi untuk ‘mematikan’ si begal ini sangat gencar. Seorang tukang parkir, usia belum 20 tahun, sedikit gagap dan lemah otak, mati-matian mencegah kerumunan warga yang hendak memukuli si begal yang sudah terkapar itu. Karena dia sendiri yang membela, sementara puluhan lelaki lain ingin menghajar dan sebagian lagi terus memprovokasi, si begal hampir ‘babak bunyak’. Aksi main hakim sendiri itu lalu dicegah oleh beberapa tentara yang tinggal di asrama zipur dekat lokasi kejadian. Namun kerumunan massa tidak terbendung. Pijakan, tendangan, pukulan helm, terus datang bertubi. Tubuh si begal diseret ke sana kemari untuk dihindarkan dari amukan massa yang menggila. Saya katakan menggila, karena ini benar-benar terjadi. Saya heran, kenapa mereka begitu emosi melihat begal yang sudah terkapar tak berdaya itu.
Akhirnya untuk mencegahnya dihakimi lebih jauh lagi, anggota tentara tadi membawanya ke dalam asrama dan mencegah siapapun yang masuk mendekat. Tapi massa semakin banyak. Tiba-tiba ratusan massa yang seperti banteng mendengus itu berkumpul dan siap menyerang. Bahkan ketika si begal dimasukkan ke dalam selokan sedalam setengah meter pun, massa terus berusaha mendapatkannya untuk dipukuli.
Saya hanya bisa menyaksikan adegan demi adegan itu sambil mengelus dada. Mengapa kita bisa bertindak sebrutal itu? Darimana amarah itu datangnya?
Empat polisi berpakaian sipil akhirnya datang setengah jam kemudian. Mereka membawa si begal dengan mobil avanza BK 1292 KF. Sementara barang bukti, sepeda motor yang remuk, dibawa dengan becak barang oleh warga ke Polres Medan.
Bukan Tontonan Kekerasan
Tidak etis sebenarnya saya menggambarkan dengan begitu vulgar apa yang saya lihat malam tadi. Namun, saya hanya ingin membuktikan bahwa tontonan kekerasan itu terjadi dimana saja, kapan saja. Di sosial media, di media massa, sangat sering kita melihat kekerasan sebagai menu pemberitaan. Tidak ada ragu atau rasa takut.
Saya adalah salah satu yang kemudian masuk ke dalam kerumunan penonton kekerasan. Dari rasa ingin tahu, kemudian saya menjadi pembagi cerita kekerasan. Siklus itu bermula dari sini. Ketika dalam masyarakat dipertontonkan kekerasan oleh aparat terhadap bandit-bandit, masyarakat seperti mendapat ‘ijin’ untuk menghakimi begal di jalanan. Rasa keadilan yang tercederai oleh proses hukum yang timpang, aparat hukum yang korup, masyarakat lebih percaya diri dengan hukum yang ditegakkan di jalan ketimbang di meja hijau.
Sadar tidak sadar, telah terbangun paradigma berpikir di masyarakat bahwa rasa aman itu diciptakan oleh hukum jalanan, bukan oleh penegakan hukum. Begal yang erat kaitannya dengan narkoba, tidak pernah tuntas diselesaikan aparat hukum meskipun korban sudah banyak berjatuhan.
Sesuatu yang kompleks semakin menebal jika dibiarkan berlarut-larut. Akar persoalan kekerasan di masyarakat ini dibiarkan tumbuh liar tanpa bisa terkontrol. Lagi-lagi masyarakat hanya bisa mengaduh keluh jika ada kejadian serupa. Menonton kekerasan, sambil berharap korban bukan seseorang yang kita kenal, saudara ataupun teman. (diana saragih)