Oleh Linova Rifianty
Di kampung nenekku yang letaknya di sebuah lembah ember merupakan salah satu media vital sehari-hari. Mandi, masak, bersih-bersih rumah dari kotoran ayam yang merdeka lalu lalang keluar masuk rumah, hingga wudhu lima kali, sehari ember jadi pahlawan idola. Pasalnya pasokan air dari sungai Taleh Jernih yang membelah dasar daratan perkampungan belum dipasangi pipa dan mesin pompa, alhasil warga mengandalkan ember sebagai pengangkut air.
Ember plastik kala itu (tahun 1980-an) tak sepopuler sekarang. Bahan yang paling laku terbuat dari aluminium yang meskipun ringan namun mudah sekali bocor halus jika kelamaan dipakai. Akhirnya setiap kali air diambil dari sungai sampai ke dalam rumah isinya tidak lagi maksimal, menyebalkan. Ini berarti pengisian bak mandi harus bolak-balik turun naik lembah. Bikin hati dongkol, dengkul lemas.
Ember bocor ini jika tak ditambal lama kelamaan lubangnya semakin besar, air yang bisa diangkut pun ber-‘volume’ kecil karena menetes di sepanjang pengangkutan. Alih-alih membeli ember baru keluarga nenekku lebih memilih mencari tukang patri yang ahli menutupi lubang bocor tersebut, “Lebih muraaah!” kata tanteku.
Demikian juga perempuan jurnalis, jika kemampuannya ‘nanggung’ fungsinya sebagai agen perubahan yang lebih baik bakal tak sampai, bisa-bisa tak berfungsi. Jangankan memberi informasi akurat dan seimbang, berita yang dibuat halu, blunder menebar keresahan, padamlah cahaya edukasi dan gelaplah kontrol sosial!
Perempuan jurnalis harusnya terasuki Kartini, berpengetahuan, rajin membaca buku, daftar literasinya panjang dan menginspirasi. Kualitas kewartawanan yang mumpuni akan melahirkan Kartini-Kartini jurnalis yang mampu melahirkan berita tegas sesuai data lengkap dan valid. Perempuan jurnalis yang sanggup memilih narasumber kredibel hingga karya jurnalistiknya bermagnitudo dahsyat. Kita sepakat Jurnalisme Kartini, memotivasi, menebar perdamaian, bukan menghasut, bukan hoaks, tidak menelurkan informasi sekualitas ember bocor!