Catatan Ramdeswati Pohan*
Ada yang menarik dari perhelatan 130 tahun pers di Sumatera Utara, yang digelar 9 – 11 Februari lalu di gedung Digital Library Universitas Negeri Medan. Sejumlah kliping koran tua terbitan pers Sumut dipamerkan oleh Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed. Media cetak sebagai karya jurnalistik, untuk pertama kalinya terbit di Medan dengan nama “Deli Courant” antara tahun 1885-1888. Arsip Pers yang diboyong dari Koleksi pribadi Tengku Lukman Sinar ini menjadi andalan pada ajang arèna pameran karena merupakan lembaran awal sejarah pers di Sumatera Utara. Ada juga kliping koran berisi konten berita seputar perempuan bertahun 1930-an. Hal ini menunjukkan bahwa pada faktanya perempuan pada masa itu telah menulis dan membaca dalam kapasitas masif. Perempuan jurnalis di Sumatera Utara bahkan telah menulis dan mempublikasikan tentang pentingnya anak perempuan disekolahkan, lebih terinci dibanding isi korespondensi Raden Ajeng Kartini dengan beberapa rekannya di negeri Belanda.
Sejarah Pers Perempuan Sumut
Pada tahun 1939, di Medan telah ada koran yang lebih mengemukakan suara perempuan dengan nama “Perempoean Bergerak”. Namun redaktur masih dipegang pejuang Pers Sumatera Utara Parada Harahap, yang namanya kemudian abadikan menjadi nama gedung Persatuan Wartawan Indonesia(PWI) di Jalan Adinegoro Medan. Nama Parada Harahap juga merupakan salah seorang pejuang pers di Sumatera Utara.
Tahun 1938 muncul koran yang berisi tulisan tentang perempuan yakni koran “Soeara Iboe” (Soeara Iboe Tapanoeli) racikan perempuan jurnalis dari Sibolga. Setahun berikutnya muncul pula “BOROE TAPANOELIE” hasil karya perempuan-perempuan dari tanah Tapanuli selatan dengan redaktur perempuan bernama Awan Chatidjah Siregar.
Raden Ajeng Kartini, yang lahir dan besar di lingkungan ningrat tentunya mampu mengecap pendidikan yang baik pula. Kartini kecil tercatat bersekolah di ELS ( Europese Lagere School ) hingga usia 12 tahun, yang membuatnya fasih berbahasa Belanda serta belajar berbagai pengetahuan lainnya dimana pada masa itu anak-anak perempuan harus dipingit. Dengan taraf hidup dan pendidikan yang cukup baik, memberi peluang bagi Kartini untuk mengungkapkan suara hati akan kondisi perempuan di tengah budaya yang masih sangat kuno. Beberapa surat Kartini yang dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya di antaranya Stella Zeehandelar seorang feminis radikal yang tinggal di Belanda. Salah satu dari surat-surat yang dikirim Kartini dalam bahasa Belanda kepada Stella pada 9 Januari 1901 diartikan : ” Dari semenjak dahulu kemajuan perempuan itu menjadi pasal yang amat penting dalam usaha memajukan bangsa. Kecerdasan pikiran penduduk pribumi tiada akan maju dengan pesat ya, bila perempuan itu ketinggalan dalam usaha itu. Perempuan jadi pembawa peradaban…” (dikutip dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang karya Kartini;red).
Jika kita bandingkan dengan tulisan di Edisi Pertama Koran “Soeara Iboe” , yang pada catatan redaksi di halaman depan telah mengulas tentang pergerakan perempuan dan kemudian pada bagian sub judul mengetengahkan tema “POERLOENJA PEREMPOEAN DISEKOLAHKAN”. Hal ini menunjukkan betapa isi surat-surat Kartini masih terlalu lembut untuk dikategorikan sebagai pergerakan perjuangan untuk kaum perempuan. Namun tulisan singkat ini bukanlah niatan membandingkan, lebih dari itu adalah harapan bersama untuk memaknai dan menghargai perjuangan perempuan-perempuan jurnalis dalam mengangkat derajat kaum perempuan di masa penjajahan. Hingga hari ini, jangankan masyarakat awam, para jurnalis mungkin sangat sedikit yang mengetahui sepak terjang para jurnalis perempuan Sumatera Utara di masa lampau.
Ada hal lebih menarik lagi saat mata tertumpu pada pajangan koran bernama “Boroe Tapanoelie”. Koran yang lahir pada tahun 1940 ini, menurut sejarawan Universitas Negeri Medan, Dr.phil.Ichwan Azhari, lahir dari jurnalis-jurnalis perempuan dari tanah Tapanuli Selatan. Koran yang pada masa itu terbit pada tanggal 1, 10 dan 30 pada tiap bulannya, dikirim dalam bentuk tulisan dari Padang Sidempuan ke Medan untuk dicetak, karena pada masa itu belum ada mesin cetak di Padang Sidimpuan. Maka itu koran baru bisa terbit tiap sepuluh hari. Ichwan menuturkan, pada masa itu masyarakat berjuang dari berbagai lini dan jurnalis pula berjuang melalui tulisan, hingga tak heran jika pada masa itu jumlah media cukup banyak, namun tak berumur panjang.
Jurnalis atau pejuang pers pada masa itu murni menjadikan media cetak (koran) sebagai alat perjuangan dan jurnalis perempuan pula menyuarakan perjuangan kaum perempuan melalui koran. Koran bukanlah ajang cari nafkah atau bisnis, hingga ketika maksud telah tercapai keberadaan koran-koran tersebut berangsur menghilang. Pada zaman setelah merdeka, salah seorang tokoh pers perempuan Sumatera Utara Hajjah Ani Idrus, menelurkan Majalah Perempuan berjudul “Dunia Wanita”, baik isi maupun redaksional dari Majalah yang lahir di zaman orde lama ini , hampir seluruhnya dikerjakan oleh profesionalitas para jurnalis perempuan Tanah Deli. Sayangnya, keberadaan majalah inipun hanya tinggal kenangan.
Begitu tangguhnya jurnalis perempuan di Sumatera Utara sejak puluhan tahun silam. Menjadi renungan kita bersama para jurnalis perempuan masa kini, apakah kita mampu melampaui sepak terjang mereka ketika demokrasi sudah menjadi udara di negeri ini, apa yang sudah kita buat untuk bangsa dan negeri ini?
*Ketua FJPI, Pemimpin Umum www.jurnalisperempuan.com