Pilkada serentak ketiga tahun 2018 sudah di depan mata, 26 Juni 2018. Tak terkecuali di Sumatera Utara, pemilihan gubernur dan wakil gubernur menjadi sorotan akhir-akhir ini. Pilkada yang bersih dan bermartabat kembali dikumandangkan dengan harapan akan terpilih pemimpin daerah yang amanah dan bekerja maksimal untuk kemajuan daerah. Meskipun sudah muncul beberapa nama bakal calon yang akan ikut dalam kontestasi Pilgubsu 2018, namun pasangan yang benar-benar maju masih simpang siur. Pendidikan politik di masyarakat masih terkesan ‘otodidak’, bahwa memilih pemimpin harus dengan nurani dan melihat rekam jejak kinerja.
“Adanya UU No.10 tahun 2016 tentang Pilkada menjadi kekuatan yang lebih tegas dalam mengawal penyelenggaraan Pilkada. Sanksi sangat tegas, mulai kualifikasi, denda, bahkan penjara hingga 6 tahun,” ujar Ketua Bawaslu Sumut, Safrida, saat diskusi publik tentang pemantauan Pilgubsu yang bermartabat di Medan, hari ini.
Menurutnya, kesadaran masyarakat akan pentingnya Pilkada yang prosedural dan bersih akan membawa dampak besar bagi masa depan daerah terkait. Pelaporan dan kesadaran sosial politik masyarakat menurutnya sangat berperan. Di sinilah kedaulatan rakyat itu diuji. Politik uang dan kampanye hitam akan sangat merugikan dan menyesatkan masyarakat.
Hal senada juga disampaikan oleh Akbar Ali, dari Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri yang turut hadir sebagai pembicara. Katanya, pidana kurungan maksimal 6 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar itu dinilai cukup tinggi untuk menghukum para pelaku kecurangan dalam Pilkada. Dan ini juga berlaku bagi masyarakat yang memilih dan dipilih dengan praktek politik uang. “Masyarakat jangan mau dibohongi dengan sangat murah dan menggadaikan suaranya demi meloloskan politikus yang menghalalkan segala cara untuk duduk di kursi kekuasaan. Itu menyesatkan bangsa secara langsung,” ujarnya.
Potensi konflik juga menjadi sorotan pembahasan Akbar Ali. Pengalaman terjadinya konflik saat Pilkada diupayakan seminimal mungkin. Sebab, ketidakstabilan politik akan mengakibatkan kerugian, baik ekonomi maupun sosial. Kerugian ekonomi misalnya, akan menyebabkan pembangunan tertunda, investasi melemah, yang menyebabkan pengangguran, daya beli masyarakat turun, dan ini berdampak bagi pendapatan negara. Kerusakan-kerusakan fasilitas publik menjadi masalah lain yang diakibatkan oleh konflik akibat Pilkada.
“Pengalaman Pilkada di Aceh 2017 justru sangat mengejutkan. Meskipun Aceh merupakan daerah rawan konflik Pilkada tertinggi di Indonesia, namun pada Pilkada lalu, justru sangat kondusif. Dan ternyata kunci kelancaran Pilkada di sana adalah adanya gerakan kerja sama pemangku kebijakan mulai dari Muspida, tokoh agama dan masyarakat untuk menjaga Aceh tetap kondusif. Komunikasi terus dibina dan berhasil,” ungkap Akbar.
DPT Tinggi, Partisipasi Rendah
Pilkada serentak 2018 nanti disinyalir menjadi barometer keberhasilan suara untuk Pilpres 2019. Lima provinsi dengan tingkat daftar pemilih tetap (DPT) tertinggi di Indonesia melakukan Pilgub serentak, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Sumatera Utara sendiri memiliki DPT 10 jutaan orang. Namun pengalaman Pilgub 2013 lalu, partisipasi pemilih hanya 48,50%. Tahun 2015, pada pemilihan walikota Medan angka pemilih justru lebih anjlok, yakni 26% dari DPT 1 jutaan orang. Angka partisipasi pemilihan walikota Medan tersebut merupakan angka terendah se-Indonesia. Akbar Ali menyebutkan, sangat disayangkan jika ada pemimpin daerah yang duduk di kursi kekuasaan dengan angka partisipasi politik warga di Pilkada sangat minim. Meskipun secara hukum sah, namun legitimasi sosial masyarakat sangat berpengaruh kepada terselenggaranya roda pemerintahan di suatu daerah, ujarnya.
Anggota KPU Sumut, Yulhasni, mengatakan pihaknya sudah merilis hasil riset politik masyarakat terkait rendahnya partisipasi warga pada Pilkada. Dari riset itu diketahui bahwa hal tertinggi penyebab rendahnya partisipasi pemilih ke TPS adalah ketidakpercayaan kepada calon kepala daerah dan partai politik. Kekecewaan karena janji yang tidak dipenuhi ketika kampanye menyebabkan masyarakat ‘kapok’ memilih. Oleh sebab itu, dalam Pilkada serentak 2018 ini KPU Sumut menargetkan partisipasi pemilih naik menjadi 77,55%. Sosialisasi Pilkada terus dilakukan dengan menggandeng sejumlah pihak terkait untuk menarik kepercayaan masyarakat pada Pilkada. (jp)