Sidang lanjutan dengan agenda tuntutan terhadap Prajurit Satu (Pratu) Rommel Sihombing, anggota TNI AU Lanud Soewondo ternyata sudah digelar secara diam-diam di Mahkamah Militer I Medan pada 25 Juli 2017 kemarin. Ada indikasi, sidang tuntutan penganiaya jurnalis ini “dikaburkan” untuk menghindari pantauan awak media. Oditur Militer, Mayor Darwin Hutahean yang menangani kasus ini mengakui sudah menuntut terdakwa Rommel. Namun, perwira yang mengaku bertugas di Mabes TNI AU ini tidak menjelaskan apa saja pertimbangan yang disampaikannya pada saat tuntutan, mengingat tuntutan yang dijatuhkan terlalu rendah.

“Tuntutannya enam bulan. Ya, enam bulan penjara,” kata Hutahean, Senin (31/7) di halaman Mahmil I Medan. Ia mengatakan, pembacaan tuntutan didengarkan langsung oleh Ketua Majelis Hakim, Kolonel CHK Budi Purnomo. Namun, ketika disinggung kenapa sidang ini digelar terkesan secara diam-diam, mengingat petugas piket Mahmil sempat menyatakan sidang ditunda pada 31 Juli, Hutahean membantahnya. Katanya, sidang tetap digelar, meskipun sempat terlambat.

“Hakimnya hadir kok. Besok (Selasa 1 Agustus) sidang pledoinya,” kata Hutahean. Sayangnya, ketika hendak ditanya lebih lanjut mengenai kasus ini, Hutahean buru-buru masuk ke gedung Pengadilan Militer. Ia beralasan ingin sarapan.

Terpisah, jurnalis korban kekerasan, Array A Argus mengaku kecewa dengan tuntutan oditur militer. Apalagi, sidang tuntutan ini terkesan digelar secara diam-diam dan “dikaburkan”. Menurut Array, pada 25 Juli 2017 kemarin, ia dan beberapa jurnalis sempat datang ke Pengadilan Militer I Medan. Kala itu, Array diminta mengisi buku tamu.

“Setelah saya tanya apakah sidang tuntutan Pratu Rommel jadi digelar, pegawai Mahmil mengatakan sidangnya ditunda hingga tanggal 31 Juli. Saya sempat dua kali menanyakan masalah itu, tapi pegawai berkacamata berkaos hijau mengatakan tidak ada sidang pada 25 Juli karena hakimnya tidak ada,” ungkap Array. Bahkan, pegawai Pengadilan Militer yang mengatakan sidang tuntutan ditunda itu sempat menyebut pengacara terdakwa bodoh, karena hadir ke  Pengadilan Militer padahal sidang ditunda.

“Pegawai itu tetap bilang tidak ada sidang. Dia ngotot bilang ke saya bahwa tidak ada jadwal saat itu,” kata Array.  Karena sidang ditunda, Array pun kembali. Belakangan diketahui, setelah sejumlah awak media bubar, sidang tetap digelar. Bahkan, tuntutan yang dijatuhkan sangat ringan dan tidak mencerminkan rasa keadilan. Tim Advokasi Pers Sumut dari LBH Medan, Aidil Aditya mengatakan, sejak kasus ini diproses, terdapat banyak kejanggalan. Mulai dari maladministrasi, hingga hilangnya pasal Undang-undang Pers No 40 tahun 1999.

“Setelah kami memantau persidangan ini dari awal hingga jalannya tuntutan, sidang yang digelar terkesan seremonial belaka. Esensi untuk menegakkan keadilan terhadap korban masih jauh dari rasa keadilan,” kata Aidil. Ia juga mempertanyakan keseriusan oditur militer yang menyidangkan perkara ini. Ada indikasi, baik oditur militer maupun Pengadilan Militer terkesan melindungi terdakwa. Bahkan, Aidil mensinyalir sidang ini sudah “dikondisikan” untuk meringankan hukuman terdakwa.

“Pada 25 Juli pihak Pengadilan Militer menyatakan sidang ditunda tanggal 31 Juli karena hakim tidak ada. Lalu, kenapa sidang digelar secara diam-diam pada 25 Juli. Lantas ini apa namanya,” kata Aidil. Ia mengatakan tidak salah jika masyarakat beranggapan bahwa penegakan hukum di Pengadilan Militer dijalankan tidak secara profesional. Sebab, banyak kejanggalan yang muncul mulai dari proses penyelidikan hingga proses persidangan.

“Ini contoh kecilnya saja. Seperti halnya UU Pers yang tidak dimuat dalam dakwaan. Kemudian, barang bukti yang tidak lengkap,” kata Aidil. Harusnya, kalau oditur itu mengatakan ia tidak berpihak pada terdakwa, UU Pers itu harus dibuat dalam dakwaan. Kemudian, saksi ahli dari Dewan Pers juga perlu dihadirkan. “Pelarangan dan pembungkaman terhadap seorang jurnalis yang tengah melakukan peliputan itu ada ancaman pidananya. Jadi tidak sembarangan mereka melarang, bahkan melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis,” ungkap Aidil.

Ia mendesak agar Panglima TNI menyikapi bobroknya peradilan di Pengadilan Militer I Medan. Jika ini dibiarkan terus, tentu tidak akan tercipta rasa keadilan di tengah masyarakat. “Panglima TNI harus tahu masalah ini. Jangan seolah-olah tutup mata. Kalau ini dibiarkan, tentu citra baik yang sudah terbangun di tengah masyarakat akan runtuh karena persoalan bobroknya penegakan hukum di kalangan TNI itu sendiri,” pungkas Aidil. (jp/rel)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini